FIN.CO.ID - Dewan Pers dan seluruh komunitas pers menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Meski demikian, Dewan Pers menghormati DPR maupun pemerintah yang memiliki kewenangan secara konstitusional menyusun sebuah regulasi.
"Terutama yang berkaitan dengan persoalan pemberitaan pers, baik melalui media cetak, elektronik dan lainnya,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 14 Mei 2024.
BACA JUGA:
- Acara Dewan Pers di Hari Terakhir Kampanye, TKN Belum Pastikan Kehadiran Prabowo-Gibran
- AJI Tolak Revisi UU Penyiaran: Upaya Pembungkaman Kebebasan Pers Sangat Nyata!
Menurut Ninik, RUU Penyiaran itu tidak mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapat informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Karena RUU tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran.
“RUU penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas,” kata Ninik.
Dia mengatakan, RUU Penyiaran itu dapat mengancam kemerdekaan pers khususnya soal larangan liputan investigasi. Pasal kontroversial lainnya, kata dia, pasal 8A huruf q yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers.
"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers, dan itu dituangkan dalam undang-undang," ujar Ninik.
Dia mengatakan, penyusunan perundang-undangan memerlukan roses harmonisasi. Hal itu, menurut dia, agar tidak ada tumpeng tindih dalam Undang-Undang.
"Penolakan ini juga didasari, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," pungkasnya.
Dalam jumpa pers ini dihadiri oleh konstituen Dewan Pers seperti AJI, PWI, SPS, IJTI, SMSI, AMSI, JMSI, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Indonesia (PRSSNI).
Dalam draft RUU itu sejumlah pasal dinilai berpotensi menghambat tugas jurnalistik. Pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran, yakni Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c. Draf RUU Penyiaran yang berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.
Pada pasal 8A huruf q memberikan kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers.
Kemudian, Pasal 50 B Ayat 2 huruf c mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja.
BACA JUGA:
- Bawaslu Bersama Stakeholder Susun Juknis Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye
- Dewan Pers Pastikan Oknum Yang Protes Diberi Amplop Rp 10 Ribu di Kronjo Tangerang Bukan Wartawan!