Pada waktunya, belum sekarang, Denny mencontohkan instruksi ke AI Jika ingin menulis puisi esai dengan bantuan AI, kira-kira seperti ini, “Coba tuliskan kisah dua pemuda yang bersahabat. Pemuda Sabah dan pemuda Indonesia di era Bung Karno. Karena Bung Karno begitu kuat agitasinya, persahabatan mereka rusak. Tapi anak-anak mereka sekarang hidup di era Jokowi dan di era Datuk Anwar Ibrahim, mereka bersahabat kembali.
Buatkan puisi esai ini dengan gaya Denny JA. Agar lebih dalam lagi masukkan kedalaman renungan dan kata-kata Jalaluddin Rumi dalam puisi.”
Setelah instruksi diberikan, AI akan menuliskan satu puisi esai dengan sangat cepat. Puisi itu benar-benar mewakili ideologi Denny soal Hak asasi manusia dan diskriminasi. Puisi itu jauh lebih dalam karena AI memasukkan unsur Rumi ke tubuh puisi esai tersebut.
Setelah AI semakin banyak dipakai, timbul pertanyaan besar: siapakah pengarang itu nanti?
Ketika menulis menggunakan AI, 80% adalah karya AI. Sisanya 20% baru diperdalam oleh manusia.
Sama dengan melukis pakai AI. 80% lukisan dibuat oleh AI berdasarkan instruksi yang diberikan.
Sisanya 20% adalah bagian pelukisnya untuk memperdalam filosofinya, mengubah komposisi, dan memberi sentuhan akhir agar emosi pelukis lebih kelihatan di lukisan.
Jadi, pertama, dari penggunaan AI, kita memahami siapa yang disebut pengarang. Si penulis atau pelukis tetap adalah seorang creator yang memberikan instruksi dan sentuhan akhir dari sebuah karya.
Kedua, karya yang dibuat dengan AI akan over supply sehingga mempengaruhi nilai ekonominya. Satu novel bergaya Atwood akan selesai 1 hari saja. “Kita akan kaget sekali menghadapi dunia baru. Begitu banyak buku dengan berbagai, aneka informasinya, tapi nilai ekonominya rendah sekali. Karena makin banyak pilihan dan makin banyak orang yang menawarkan satu cara-cara yang murah.
Lalu bagaimana perkembangan puisi esai setelah ada AI? Menurut Denny, berdasarkan Discover Media, mereka yang membaca sastra akan memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak membaca karya sastra.
Yang membaca sastra lebih bersedia menjadi sukarelawan, lebih lebih terbuka untuk solidaritas sosial.
Jadi ada efek yang besar dari sastra kepada budi pekerti, kepada moralitas manusia.
Di saat yang sama, puisi makin tidak dibaca. Sebab inovasi dalam puisi sudah sangat jarang terjadi. Karena itu, itu Puisi Esai datang sebagai ikhtiar inovasi, membawa pesan isu-isu yang berhubungan dengan hak asasi manusia, disampaikan dalam bahasa yang mudah.
Kita menginginkan Puisi Esai membawa sastra ke tengah gelanggang. Sekarang ini, sudah ada 150 buku Puisi Esai, sudah banyak sekali, sebagian dari teman-teman Malaysia dan teman-teman Brunei, Singapura.
Denny menambahkan, sebuah tim sedang menyusun empat buku angkatan puisi esai.