Berikut Pengertian Ogoh-Ogoh Nyepi, Sejarah dan Tradisinya

Pada malam itu, para penghuni desa dan kota berkumpul untuk membakar ogoh-ogoh sebagai simbol pengusiran roh jahat tersebut.

Proses pembakaran ogoh-ogoh juga dianggap sebagai simbol dari pembersihan diri dari kejahatan dan kesalahan pada tahun yang lalu.

Hingga pada tahun 1983 keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional. Pada tahun itu, mulai dibuat wujud-wujud Bhuta Kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali.

Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar. Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII.

Tradisi Ogoh-Ogoh Nyepi

Tradisi ogoh-ogoh Nyepi dimulai beberapa minggu sebelum Hari Raya Nyepi. Pada awalnya, pengrajin di Bali mulai mempersiapkan bahan-bahan dan rencana untuk membuat ogoh-ogoh baru untuk perayaan tahun itu. 

Setiap ogoh-ogoh diukir dengan sangat teliti dan dihiasi dengan warna-warna yang cerah dan menarik.

Setelah pembuatan selesai, ogoh-ogoh akan dipamerkan di sekitar kota atau desa pada malam sebelum Hari Raya Nyepi. Para pengrajin akan memainkan musik dan menari di sekitar ogoh-ogoh untuk menarik perhatian pengunjung.

Selah pameran ogoh-ogoh, para pemuda di desa atau kota akan membawa ogoh-ogoh dalam sebuah prosesi melalui jalan-jalan di sekitar wilayah mereka. Prosesi ini biasanya diikuti oleh banyak orang yang menari dan bernyanyi sambil membawa obor dan kembang api.

Ketika prosesi mencapai tujuannya, ogoh-ogoh akan diposisikan di tempat terbuka untuk dibakar. Proses pembakaran ogoh-ogoh dimulai dengan ritual keagamaan oleh seorang pendeta Hindu dan diikuti oleh pesta kembang api yang spektakuler. 

Setelah ogoh-ogoh terbakar habis, masyarakat di Bali mulai mempersiapkan diri untuk merayakan Hari Raya Nyepi dengan menghabiskan hari itu dalam keheningan dan refleksi diri. (*)