JAKARTA, FIN.CO.ID -- Bank sentral Amerika, Federal Reserve alias The Fed, dalam rapat FOMC bulan Juli 2022 memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFF) sebesar 75 basis poin (Bps).
Kebijakan kenaikan FFF tersebut sedikit banyak akan membawa pengaruh bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. FFF sendiri memutuskan untuk merespons kenaikan inflasi di Amerika, yang disebutkan mencapai 9,1 persen atau tertinggi dalam empat dekade terakhir.
(BACA JUGA: Layanan Prima, BRI Raih Dua Pencapaian dalam Bank Service Excellence Monitor 2022 )
Berikut hasil kajian dan pandangan Kepala Ekonom Bank BRI, Anton Hendranata, kajian terkait kebijakan The Fed dan perekonomian Indonesia.
Menurut Anton, kenaikan tingkat suku bunga The FED sebesar 75 bps sebetulnya telah diperkirakan oleh pasar, mengingat tingkat inflasi AS yang masih cukup tinggi hingga Juni 2022 yaitu sebesar 9,1 persn secara tahunan (year on year/yoy). Dengan kenaikan tersebut, tingkat suku bunga acuan The FED saat ini menjadi sebesar 2,25-2,50 persen pa.
"Kenaikan suku bunga The Fed tentunya dapat memberikan dampak bagi pasar finansial dan valas Indonesia. Naiknya suku bunga The Fed menyebabkan investor banyak melarikan aset finansialnya dari negara berkembang menuju AS, karena return yang ditawarkan menjadi lebih besar dan risiko investasinya relatif kecil dibanding negara berkembang. Aset finansial AS yang menarik tentunya dapat mendorong capital outflow pada pasar finansial Indonesia, baik di pasar saham maupun obligasi," demikian jelas Anton, dalam keterangam hasil risetnya, Jumat 29 Juli 2022.
Menurut Anton, sebetulnya, pasar obligasi dan saham Indonesia sudah mengalami capital outflow sejak bulan Mei 2022, ketika The Fed menaikkan suku bunganya secara agresif sebesar 50 bps (di luar perkiraan sebelumnya sebesar 25 bps).
(BACA JUGA: BRI Klaim Penyaluran KUR Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat)