JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut penuntasan kasus-kasus korupsi terutama yang berkaitan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor kerap terhambat oleh proses perhitungan kerugian keuangan negara.
Hambatan ini tidak hanya dialami KPK, namun juga kepolisian dan kejaksaan.
"90 persen lebih perkara di daerah itu menyangkut Pasal 2 Pasal 3 pengadaan barang dan jasa, praktis di situ harus ada pembuktian terkait kerugian negara, ini yang selama ini sering terhambat teman-teman penyidik di kejaksaan daerah itu," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (22/12).
Kedua pasal di UU Tipikor itu mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara. Sementara, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK.
Sedangkan instansi lainnya, seperti BPKP, inspektorat, dan sebagainya tetap berwenang melakukan pemeriksaan, tetapi tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.
Dikatakan Alex, sapaan Alexander Marwata, perhitungan kerugian keuangan negara ini menjadi perdebatan yang cukup alot di antara aparat penegak hukum.
Meski tidak selalu meminta BPK, aparat penegak hukum, terutama di daerah kerap kesulitan merampungkan penyidikan kasus korupsi karena lamanya proses perhitungan kerugian keuangan negara.
"Mereka selalu mengeluhkan lamanya audit, meskipun mereka tidak hanya meminta BPK, tapi lebih banyak sebetulnya BPKP, dari situ saja sebetulnya SEMA ini sudah kehilangan maknanya, karena teman-teman penyidik meminta bantuan BPKP untuk audit," kata Alex.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan penyidik sendiri bisa melakukan perhitungan kerugian negara menjadi angin bagi penegak hukum.
Dikatakan, dalam sejumlah perkara korupsi seperti pekerjaan fiktif, kerugian keuangan negara dapat tergambar ketika uang negara atau daerah sudah dikeluarkan untuk suatu pekerjaan, namun pekerjaan itu tidak dilaksanakan.
"Apakah masih perlu audit? wartawan pun pasti sudah bisa hitung kerugian negara, ya sejumlah uang itu lah yang dikeluarkan, berarti tidak perlu audit, kasarnya seperti itu. Jadi penyidik juga bisa, hakim dengan bukti pengeluaran uang, enggak ada imbalannya, pasti juga yakin, kan begitu. Pertanyaan selanjutnya sebetulnya siapa dalam perkara korupsi itu yang menentukan besarnya kerugian negara, yang nanti akan dibebankan ke pidana? bukan BPK, bukan BPKP, bukan penyidik, dan sebagainya, tetapi yang menentukan itu hakim, lewat putusannya tadi," katanya.
Dalam putusannya, hakim akan menyatakan nilai kerugian keuangan negara dan pihak yang bertanggung jawab untuk mengembalikan kerugian negara. Dengan demikian, kata Alex, hakim yang menentukan kerugian negara, sementara basil audit hanya menjadi alat bantu bagi hakim mengungkap terjadinya kerugian negara.
"Apakah (hasil audit) itu mengikat? Oh tidak. Tentu tidak mengikat hakim harus setuju dengan hasil audit. Ya kalau hakim mau setuju dengan hasil audit ya enggak masalah gitu kan. Tetapi itu tadi, tidak harus terikat pada hasil audit. Karena hasil audit itu atau perhitungan kerugian negara itu hanya salah satu unsur dalam proses pembuktian perkara korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3," katanya.
Untuk itu, kata Alex, KPK membentuk Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi. KPK pun mengapresiasi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II dengan terdakwa mantan Dirut PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino. Dalam putusannya, dua hakim anggota Pengadilan Tipikor mengakui perhitungan keuangan negara yang dilakukan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
"Saya mendorong supaya kita punya unit baru deteksi analis korupsi itu, kita punya akuntan forensik ya saya kira kalau dari sisi kemampuan kapasitas juga punya kompetensi di sana dalam menghitung kerugian negara. Saya mendorong, pimpinan mendorong supaya dilakukan penghitungan kerugian negara menyangkut ya PBJ-nya, dan itu sudah dilakukan," katanya. (riz/fin)