Berkat interaksinya dengan Gus Dur baik secara formal saat menjadi juru bicara Kepresidenan saat Gus Dur menjadi Presiden maupun sebelumnya, telah memberikan kontribusi pemikiran yang cukup luas dan matang.
“Kalau kita lihat peran beliau (Gus Yahya) di dunia internasional itu juga banyak peran dari pamannya (Gus Mus) yang banyak memberikan ruang itu, dan juga berjasa besar dalam menghubungkan beliau dengan Gus Dur dan belakangan intensitas beliau berinteraksi dengan Gus Dur, disini sebetulnya ada fase penting dalam kehidupan Gus Yahya dimana ada intensitas interaksi beliau dengan Gus Dur ini yang menghasilkan apa yang kita kenal apa yang kita lihat dalam sosok Gus Yahya.” Bebernya.
Disisi lain, Septa menerangkan alasannya menulis biografi seorang Gus Yahya karena kakak kandung dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu merupakan sosok yang menarik sebagai penerus pemikiran Gus Dur.
“Gus Dur pernah berkunjung ke Israel dan beliau (Gus Yahya) adalah orang kedua setelah Gus Dur ini bukan sembarang orang yang berkunjung Israel ini. Sempat saya juga membaca makalah beliau saat beliau melakukan presentasi di Kuala Lumpur di Islamic Liberty Forum saya kira sosok seperti ini kosong di NU dan beliau bisa mengisi kekosongan itu.” Ucapnya.
Lanjut Septa, melihat pemikiran-pemikiran Gus Yahya dari beberapa buku yang ditulisnya, memiliki pisau analisis yang luar biasa tajam.
“Analisis sosiologisnya ini sangat kuat, beliau ini kalau dalam tradisi sosiologi ini bisa dibilang sangat Weberian, jadi beliau sangat percaya bahwa realitas sosial itu tidak hanya dibentuk oleh pikiran, bukan hanya normatifitas pikiran saja, bukan hanya filsafat saja, tetapi dibentuk oleh kompleksitas kenyataan yang ada di situ bahkan dorongan-dorongan yang membuat seseorang melakukan sesuatu itu lebih banyak faktor-faktor yang bersifat materiil dibandingkan dengan imateriil,” jelasnya.
Selain itu, pemikiran Gus Yahya sangat luas dalam melihat tatanan global ini dan tantangan jaman ke depan serta memberikan sumbangsih atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi.
“Secara gagasan sebetulnya yang menarik dari Gus Yahya ini adalah kemampuan beliau dalam meneropong dalam melihat perubahan global tatanan global ini, ada kesadaran penting di situ kalau kita ingin bicara apa yang perlu dilakukan oleh NU lebih besarnya umat Islam atau Bangsa Indonesia dan lebih besarnya lagi komunitas global,” ulasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai kehadiran Gus Yahya di bursa pencalonan Ketua Umum PBNU sangat tepat, di mana dia bisa memberikan warna baru bagi NU dalam menyelesaikan masalah dengan konektivitasnya, serta bisa memodernisasi organisasi Islam ini ke depan.
“Nah itu juga membuat dia bisa lebih berkomunikasi dengan berbagai macam kelompok yang berbeda. Kalau nanti Gus Yahya jadi ketua Tanfidz PBNU, saya lihat yang akan dilakukan oleh Gus Yahya ini pertama-tama tentu bagaimana bisa membuat organisasi NU ini menjadi lebih modern, sistematis lebih maju dibanding dengan sebelumnya,” kata Qodari dalam bedah buku.
Selain itu, kata Qodari, dalam buku biografi ini, Gus Yahya menerangkan bahwa dalam agama harus beradaptasi karena perjalanan hidup manusia itu akan selalu mengalami perubahan zaman, hingga adaptasi itu sangat penting bagi organisasi NU.
“Gus Yahya itu dalam buku ini mengatakan kita sebagai orang beragama harus melakukan adaptasi. Kenapa, ini yang paling menarik dari buku ini, dia mengatakan bahwa masyarakat itu berubah komposisi, demografi berubah, mobilitas berubah dan norma itu berubah,” ujarnya.
Lebih lanjut Qodari, dalam pikiran Gus Yahya ada pikiran-pikiran Abdurahman Wahid alias Gus Dur hingga kehadiran Gus Yahya sangat dibutuhkan sebagai penghubung antar umat beragama dan antar bangsa.
“Yang kedua mudah-mudahan Gus Yahya itu menjadi the next Gus Dur, apa the next Gus Dur? Orang yang menjadi jembatan kebangsaan, yang mayoritas dan minoritas, Islam dengan Kristen, antar negara di dunia internasional,” ungkapnya.
“Memang kita memerlukan figur yang bisa mempertemukan satu kelompok dengan kelompok yang lain pada masa sekarang ini, karena masa dimana politik identitas makin kuat, polarisasi semakin kuat dan orang pun semakin berkomunikasi satu dengan baik, dan saya kira potensi itu ada,” jelas Qodari. (Dal/fin).