JAKARTA - Bedah buku biografi calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya dengan judul ‘Biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan yang ditulis oleh Septa Dinata berlangsung di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina Jakarta pada, Minggu (19/12/2021).
Buku setebal 137 halaman itu dibedah oleh empat narasumber, yakni Septa Dinata selaku penulis, Pengamat NU sekaligus Sosiolog Dr. La Ode Ida, Ahli Pemikir Islam Dr. M. Subhi Ibrahim dan Pengamat Politik Dr. Muhammad Qodari. Buku tersebut mengupas soal perjalanan Gus Yahya sejak masih kecil hingga gagasan-gagasan untuk memajukan organisasi NU lebih maju dan modern.
Dalam setiap lembar halamannya, para pembaca akan menemukan banyak sekali pembahasan menarik yang tidak hanya terpaku pada satu tema stagnan. Beragamnya tema yang dibahas, tentu saja berporos pada satu titik temu, yaitu seluk beluk kehidupan KH Yahya Cholil Staquf dan hal-hal yang mengiringinya.
Sebagai penulis buku tersebut, Septa Dinata mengakui tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lebih akrab disapa Gus Yahya ini, menarik untuk diikuti perjalanan hidup dan intelektualnya. Sebab pada dirinya, tersimpan pola pikir yang progresif, yang kerap kali sukar dimengerti oleh mayoritas individu, walau sejatinya ide yang dibawa relevan dengan semangat dan tantangan zaman yang ada.
Dalam buku tersebut dijelaskan sosok Gus Yahya merupakan pewaris dari salah seorang ulama besar. Nama ayahnya adalah KH Cholil Bisri, anak dari KH Bisri Mustafa (kakek Gus Yahya). KH Bisri Mustafa adalah founder dari pesantren Raudlatut Thalibin, salah satu pondok pesantren NU yang begitu dihormati hingga kini.
Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa Gus Yahya lahir dari keluarga yang tak abai terhadap ilmu pengetahuan. Utamanya yang menyangkut nilai-nilai Islam
“Gus Yahya tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren. Selain ayahnya dikenal sebagai ulama besar, ia juga sangat diuntungkan dengan sosok lain dalam keluarganya yaitu kakeknya, KH. Bisri Mustofa dan pamannya, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang turut serta membentuk dirinya. Dalam diri Gus Yahya mengalir darah ulama-ulama besar,” ujar Septa, Minggu (19/12/2021).
Menurut Sapta, menariknya dari Gus Yahya selain lahir sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan sudah hidup dalam tradisi pesantren, juga kemudian belajar di sekolah umum, di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di jurusan sosiologi.
“Ini saya kira menjadi kelebihan tersendiri dari Gus Yahya, Kalau bicara secara sosiologis, interaksi secara struktur dan aktor ini, nah inilah yang mempertajam dan membentuk sosok yang kita kenal sebagai Gus Yahya,” ungkapnya.
Septa menambahkan ada hal yang unik hubungan antara Gus Yahya dengan ayahnya, sebagaimana kebiasaan yang ada dilingkungan pesantren di mana hubungan antara kiai dan anaknya sangat kaku.
Hal itu juga yang dialami Gus Yahya sewaktu menempuh Pendidikan di perguruan tinggi di UGM Yogyakarta ia tidak begitu akrab atau tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Gus Yahya mengaku lebih dekat dengan pamannya yaitu Gus Mus.
Namun, berkat dorongan dari Gus Mus juga, Gus Yahya dapat kembali menjadi akrab bersama ayahnya.
“Gus Mus mengisahkan kepada Gus Yahya bahwa ayah Gus Yahya, kakak dari Gus Mus Kiai Cholil juga memiliki hubungan yang kaku dengan ayahnya, Kiai Bisri. Ketika kiai Bisri wafat, Kiai Cholil adalah yang paling syok di antara anak-anak yang lain.” Ujar Septa.
Oleh sebab itu sejak mendengar kisah tersebut dari Gus Mus, Gus Yahya memberanikan diri untuk berinteraksi dengan ayahnya hingga akhirnya menjadi baik dan menjadi akrab.
Gus Mus, kata Septa, juga berperan penting dalam menghubungkan Gus Yahya dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.