JAKARTA – Jaksa Agung RI ST Burhanuddin menyampaikan komitmennya untuk menjaga marwah institusi Kejaksaan dengan menerapkan profesionalitas dan integritas di jajaran insan Adhyaksa. Menurut Burhanuddin, komitmen tersebut telah dia pegang sejak ditunjuk Jaksa Agung oleh Presiden Jokowi pada Oktober 2019 lalu.
“Profesionalitas dan integritas harus melekat dan tertanam dalam insan kejaksaan,” ujar Burhanuddin dalam webinar bertajuk “Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern” yang digelar Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka), Rabu (15/12/2021).
Burhanuddin mengatakan, Kejakasaan juga telah melakukan berbagai terobosan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Salah satunya dengan mengedepankan restorative justice alias keadilan restoratif yang diatur dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, mengingat selama ini penegakan hukum yang mengedepankan yang lebih retributif pada aspek pemidaan.
Menurut dia, aturan tersebut guna mengubah paradigma peradilan pidana dari hanya berorientasi pemidaan menjadi penyelesaian perkara yang lebih mengedepankan dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak terkait.
Komitmen penegakan hukum di bidang korupsi juga cukup konsisten. Bahkan Kejaksaan sudah menerapkan tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi seperti yang diterapkan kepada Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi Asabri yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp22,7 triliun.
“Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi,” tegas Burhanuddin.
Tidak hanya hukuman yang bisa menimbulkan efek jera, Burhanuddin menyampaikan bahwa Kejaksaan juga turut gencar melakukan pengembalian aset-aset negara dari pelaku korupsi melalui Pusat Pengembalian Aset (PPA).
Bahkan, pemulihan aset juga menjadi salah satu kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam perubahan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang disahkan pada 7 Desember 2021 lalu.
“Kejaksaan punya kewenangan untuk menelusuri, merampas, dan mengembalikan aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban atau yang berhak,” tandas Burhanuddin.
Selain itu, terdapat penambahan kewenangan lainnya yang diatur dalam UU Kejaksaan seperti penyadapan dan penguatan peran intelijen Kejaksaan. Secara keseluruhan, Burhanuddin menilai undang-undang tersebut semakin memperkuat Kejaksaan baik dari sisi kelembagaan maupun kewenangan.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman setuju bahwa UU Kejaksaan harus memperkuat kewenangan Kejaksaan, alih-alih dipreteli.
Bahkan, kata Boyamin, dirinya sempat mengusulkan kepada DPR agar jaksa penuntut umum memiliki kewenangan koordinasi dan supervisi untuk mempercepat penyidikan, bahkan sudah bisa terlibat sejak olah tempat kejadian perkara (TKP).
“Sekarang jaksa hanya membaca berkas untuk kemudian menyatakan lengkap atau tidak lengkap dengan tidak petunjuk, misalnya,” terang Boyamin.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Asrul Sani mengapresiasi kinerja Kejaksaan dalam beberapa tahun belakangan. Asrul tidak menampik bahwa Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 telah mengubah paradigma penegakan hukum dari retributif menjadi restoratif.
Begitu dalam pemberantasan korupsi. Menurut Asrul, Kejaksaan sudah mulai berani menangani kasus korupsi kelas kakap seperti Jiwasraya dan Asabri.