Michelle Annissa

fin.co.id - 30/10/2021, 13:34 WIB

Michelle Annissa

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

Yang suka naik T umumnya kelas bawah. Murah. Kulit hitam atau berwarna.

Tingginya peradaban di Boston bisa dilihat dari keberadaan T di sana. Boston sudah punya T sejak tahun 1890-an.

Isu lain: soal komite sekolah. Annissa pilih tetap saja ditunjuk oleh wali kota. Wu mengusulkan sebagian besar harus dipilih. Sebagian kecil saja yang ditunjuk.

Itu hanya untuk menjamin keragaman. Agar yang terpilih tidak hanya yang disukai atau hanya dari ras tertentu. Padahal yang disukai belum tentu yang berkualitas.

Siapa yang akan terpilih? Annissa? Wu? Siapa pun yang terpilih sejarah baru terjadi di Boston.

Dua-duanya mewakili golongan minoritas-nya minoritas. Padahal ras terbesar kedua dan ketiga adalah kulit hitam (25 persen) dan Hispanic —keturunan Spanyol/Latin (12 persen).

Di Pilwali ini ada tiga jenis pemilihan: wali kota (tanpa wakil), anggota DPRD, dan referendum.Ada tiga pertanyaan dalam referendum itu.

Yang jawabannya ya atau tidak. Salah satunya soal gardu listrik yang baru. Di mana akan ditempatkan. Satunya lagi: siapa yang harus lebih berkuasa menggunakan anggaran kota —wali kota atau city council.

Kita masih sulit membayangkan: penempatan gardu listrik saja tidak cukup dengan putusan wali kota atau DPRD.

Kota Boston —dengan penduduk 600.000 orang— punya anggaran sekitar Rp 60 triliun. Tapi utangnya hampir Rp 25 triliun. Kota ini termasuk mengalami kesulitan untuk membayar utang. Rating kesehatan keuangannya, ehm, D —Anda sudah tahu betapa rendahnya.

Itu tidak membuat orang surut untuk berebut jadi wali kota. Bedanya: zaman dulu yang bersaing biasanya orang kulit putih Katolik lawan orang kulit putih Protestan. (Dahlan Iskan)

Admin
Penulis