JAKARTA - Perseteruan PDIP dan Partai Demokrat kian memanas. Kali ini, Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menyebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai bapak bansos. Selain itu, PDIP juga menyinggung soal eks Ketua KPK Antasari Azhar yang dipenjara di era kepemimpinan SBY.
"PDI Perjuangan selalu move on melalui langkah-langkah organisasi yang sistemik. seperti pendidikan pol, kaderisasi kepemimpinan, dan bahkan bergerak cepat masuk ke kebudayaan, gerakan penghijauan," ujar Hasto, Senin (25/10).
Namun, Hasto menilai pihaknya tetap harus mengungkap kecerungan yang dilakukan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu. Alasannya, agar kecurangan serupa tidak terjadi lagi pada Pemilu yang akan datang.
Kecurangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu, lanjut Hasto, mulai dari manipulasi DPT, politik bansos, hingga politisasi hukum dengan memenjarakan mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
"Mengapa kecurangan Pemilu diingatkan kembali oleh PDI Perjuangan? Karena Pemilu itu hukumnya kedaulatan rakyat. Jika manipulasi DPT dan politik bansos serta politisasi hukum, termasuk dengan melakukan skenario hukum untuk memenjarakan Ketua KPK yang terbukti tidak bersalah. Yakni Antasari Azhar. Serta suap politik dengan memasukkan Pimpinan KPU sebagai pengurus teras Parpol agar tidak terjadi," urainya.
Hasto mencontohkan salah satu kecurangan manipulasi data yang terjadi saat Pemilu 2009. Ada kecurangan manipulasi DPT dengan berkurangnya jumlah kursi yang diperebutkan di Pacitan antara tahun 2009 dan 2014-2019
"Bukti kecurangan manipulasi DPT misalnya dengan berkurangnya jumlah kursi yang diperebutkan di Pacitan. Yaitu antara tahun 2009 dan 2014-2019 berkurang sebanyak 5 kursi. Itu salah satu bukti penggelembungan DPT," paparnya.
Hasto juga mengutip salah satu kajian dari Marcus Meizner yang menyebut SBY menggunakan bansos untuk kepentingan elektoral. Dia menyebut temuan ini menunjukan SBY sebagai Bapak Bansos
"Kajian dari Marcus Meizner juga menunjukkan bagaimana SBY sebagai Bapak Bansos yang menggunakan bansos untuk kepentingan elektoral. Politik bansos itulah yang memberatkan keuangan negara dalam jangka menengah dan panjang. Itu dari tulisan Marcus, Juni 2008 sampai April 2009 hampir USD 2 billion untuk belanja sosial," terangnya.
Lagi-lagi, tudingan itu dibantah oleh elite Partai Demokrat. Deputi Bappilu DPP Demokrat Kamhar Lakumani menyebut Hasto kebanyakan menghindar dan sok intelektual.
"Lagi-lagi Hasto ngeles dan semakin melebar dari pokok persoalan awal tentang tuduhannya bahwa presiden sebelum Jokowi lamban dalam mengambil keputusan. Namun setelah disajikan fakta yang terbukti sebaliknya, Hasto ngeles dan kembali memproduksi kebohongan baru," ujar Kamhar.
Dia menilai sepatutnya Hasto malu dengan korupsi bansos yang berasal dari kader PDIP. "Bicara tentang bansos, Hasto mestinya malu. Karena kader partainyalah yang menjadi koruptor bansos di kala rakyat sedang diterpa pandemi COVID-19 yang menyebabkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Kami bangga jika Pak SBY dikatakan sebagai Bapak Bansos. Karena kami tahu betul pemberian bansos dalam berbagai bentuk saat Pak SBY menjadi presiden adalah bentuk tanggung jawab dan hadirnya negara meringankan beban rakyat ketika sedang kesusahan. Juga sebagai kompensasi atas pengurangan subsidi pada masa itu," terangnya.
Tuduhan yang disampaikan Hasto, lanjut Kamhar, tidak berdasar. Karena, pasca-2009 atau di periode kedua pemerintahan SBY, pemberian bansos tetap dilanjutkan.
"Pak SBY sangat peduli pada rakyatnya. Sebagai contoh lain, ketika kebijakan konversi minyak tanah ke gas, rakyat dibagikan kompor dan tabung gas 3 kg gratis. Jauh berbeda dengan watak dan karakter pemerintah sekarang. Subsidi dicabut. Tapi rakyat tidak dapat apa-apa secara langsung untuk meringankan bebannya, malah sampai sembako pun dipajakin," urainya.
Soal Antasari Azhar yang disebut Hasto, Kamhar mengatakan Antasari adalah pelaku kriminal. Hukum saat itu tak pandang bulu, meskipun Antasari sedang mengemban tugas sebagai Ketua KPK, hukum tetap ditegakkan.