JAKARTA - Sebagian masyarakat mengeluhkan ketatnya aturan sebagai syarat penerbangan. Terutama wajib tes PCR. Masyarakat menganggap dengan kondisi COVID-19 yang sudah terkendali, seharusnya aturannya juga lebih longgar. Faktanya, aturan itu tetap diberlakukan.
"Syarat penerbangan ketat sebagai bentuk perlindungan untuk masyarakat dari paparan COVID-19. Kebijakan yang diambil pemerintah tentu telah melalui pertimbangan matang," kata Anggota DPR RI Rahmad Handoyo di Jakarta, Minggu (24/10).
Kebijakan itu mewajibkan pelaku perjalanan domestik atau penumpang pesawat untuk menyertakan hasil pemeriksaan negatif COVID-19 melalui tes PCR.
"Pemerintah ingin memastikan, siapa pun yang naik pesawat dengan tingkat probabilitasnya untuk positif itu kecil. Caranya dengan tes PCR," terang anggota Komisi IX itu.
Dia memastikan jika aturan jaga jarak sangat sulit diterapkan di dalam pesawat. Selain itu, potensi penyebaran juga tinggi dengan rentang perjalanan sekitar satu sampai tiga jam. "Harus dipahami bersama bahwa aturan ini memiliki tujuan baik," urainya.
Menurutnya, tes PCR lebih efektif dan akurat bila dibandingkan swab antigen. Banyak kasus seseorang yang telah menjalani tes antigen dinyatakan positif COVID-19 usai melalui tes PCR.
Dia mengakui aturan itu tidak bisa menyenangkan banyak pihak. Tetapi merupakan pilihan sulit yang harus ditempuh. "Ini adalah bentuk tanggung jawab negara melindungi rakyat dari potensi klaster COVID-19 ketika naik pesawat," imbuhnya.
Selama beberapa pekan terakhir, penggunaan moda transportasi udara sangat tinggi. Hal senada disampaikan Ketua Satuan Tugas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban.
Dia menyebut pentingnya tes PCR sebagai syarat guna melakukan perjalanan lewat transportasi udara. "Saya pikir kebijakan tes PCR negatif sebelum naik pesawat itu sangat penting," jelas Zubairi. Pengguna pesawat juga diminta tetap menggunakan masker saat di dalam transportasi udara itu.(rh/fin)