Pasal Penodaan Agama Masih Diperlukan, Ini Alasan Utamanya

fin.co.id - 24/10/2021, 20:05 WIB

Pasal Penodaan Agama Masih Diperlukan, Ini Alasan Utamanya

JAKARTA - Pasal penodaan agama di KUHP masih diperlukan. Sebab penodaan agama adalah bentuk pengingkaran terhadap Tuhan. Ketika ada yang menyimpang dari regulasi, pemerintah harus hadir agar kondisi tetap kondusif.

"Kebebasan beragama adalah dimensi internum. Tetapi kebebasan beragama ada aspek eksternum. Pemerintah masuk agar semua agama saling menghargai tidak melakukan penodaan. Kalau ternyata ada penodaan, maka mekanismenya sudah diatur," ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto sebagaimana dilansir website MK, pada Minggu (24/10).

Sebagai konsekuensi negara hukum, maka jaminan tidak hanya sebuah diksi atau frasa yang terkandung dalam sebuah kitab. Namun, ketentuan itu harus diimplementasikan. "Sehingga seluruh pemeluk agama dapat melaksanakan ibadah menurut agama dan ajarannya tanpa ada rasa ketakutan, rasa cemas, dan lain-lain," paparnya.

Orang yang melakukan penodaan agama justru tidak memahami agamanya sendiri. Orang yang taat beragama justru tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai penodaan agama.

Aswanto menyebut ada juga persoalan yang muncul dalam Undang-Undang Kependudukan, kolom agama tidak mengakomodir penganut kepercayaan. Karena itu, MK membuat putusan penganut kepercayaan diakomodir dalam kolom agama. "Selama ini penganut kepercayaan terpaksa harus menuliskan agama tertentu yang menjadi mayoritas di suatu daerah," terangnya.

Dosen Jurusan Hukum Fakultas Dharma Duta, UHN, I Gusti Bagus Sugriwa, Dewi Bunga setuju pasal penodaan agama masih dipertahankan. Sebab, harus dilihat pada latar belakang budaya Indonesia.

Menurut Dewi, pasal penodaan agama tidak lepas dari jaminan kebebasan beragama yang dijamin oleh negara. Jika orang-orang memahami nilai-nilai agama, justru tidak akan melakukan kejahatan.

"Ujaran kebencian atau penodaan agama di media sosial harus diperhatikan. Karena memiliki dampak yang besar, di mana banyak orang dapat mengetahui ujaran kebencian dan disebar ulang oleh orang lain sehingga meluas ke khalayak," pungkas Dewi.

Sementara itu, hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh mengatakan ada beberapa penyebutan hak. Antara lain hak asasi manusia, hak konstitusional, hak warga negara, dan lain-lain.

"Hak asasi ada yang dapat dibatasi dan ada pula yang tidak dapat dibatasi. Di mana di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat ketentuan yang menyatakan hak dapat dibatasi dengan syarat yang ketat," terangnya.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, kasus penistaan agama semakin banyak. Bahkan, banyak kasus yang terjadi di media sosial. "Hal ini terjadi karena banyak yang tidak memahami penggunaan dan dampak dari media sosial," tukas Daniel. (rh/fin)

Admin
Penulis