JAKARTA - Sepanjang pekan ini, harga batubara Newcastle diperdagangkan di rentang terendah USD225,92 /ton dan level tertingginya USD260 /ton. Namun di awal Oktober harga batu bara sempat menyentuh ke level tertingginya di sepanjang masa di level USD 280 /ton. Sementara harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) berada di angka USD70 per ton.
Selisih harga internasional dengan harga batubara domestik ini menimbulkan kekhawatiran ketika para produsen domestik lebih memilih mengekspor batubara mereka ketimbang menjual kepada PLN untuk keperluan PLTU.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengakui, kenaikan harga batubara tidak hanya dinikmati oleh pengusaha saja, sebab pemerintah juga ikut merasakan yakni dengan meningkatnya devisa negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Minerba. Pasalnya, PNBP di sektor Minerba ini batubara menyumbang sekitar 40 persen.
“Meningkatnya harga batubara ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah. Berdasarkan annual report semester I/2021, saya melihatnya bahwa hampir semua perusahaan batubara berada dalam posisi yang cukup bagus. Dan saya kira hingga akhir tahun 2021 laporan keuangan emiten batubara tersebut akan berada di level positif,” papar Mamit, Senin (18/10/2021).
BACA JUGA: BI Disarankan Tahan Suku Bunga Acuan di Level 3,5 Persen
Namun demikian, Mamit meminta pasokan DMO tetap harus dijaga dan dipenuhi. Hal itu agar pemenuhan energi dalam negeri tidak mengalami kendala. Dia khawatir jika mindset para pengusaha berubah untuk menjual sebesar-besarnya batubara ke luar negeri karena disparitas harga batubara yang sangat tinggi.
“Ini yang saya khawatirkan, tetapi saya yakin para pengusaha batubara kita masih ada merah putih nya, pengusaha kita masih mau berkorban dan juga mementingkan pasokan DMO, karena saat ini listrik sudah menjadi kebutuhan primer,” tegasnya.
“Saya kira ketergantungan terhadap DMO batubara untuk menunjang PLTU milik PLN ini sebuah keharusan. Dan saya kira juga Pemerintah bersama para pengusaha batubara juga sudah menyetujuinya untuk tidak melakukan ekspor secara besar-besaran,” sambungnya.
Mamit juga mendorong para pengusaha dalam melakukan diskusi dengan pemerintah, tidak meminta kenaikan harga yang sangat tinggi. Sebab hal itu nantinya akan memberatkan PLN selaku offtaker batubara untuk pembangkit listrik. Jika hal itu terjadi, maka hal itu akan berdampak kepada masyarakat, karena tarif listrik akan mengalami penyesuaian.
“Dengan adanya kenaikan DMO nantinya mereka (PLN) nantinya masyarakat akan sangat mengalami kenaikan tarif dasar listrik, ataupun negara akan terbebani untuk memberikan subsidi. Untuk itu, saya kira kita harus mencari win-win solution nya,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Batubara dan Energi Indonesia (Aspebindo), Anggawira, mengungkapkan bahwa krisis energi yang terjadi di Eropa dan China yang kemudian menyebabkan terjadinya lonjakan harga batubara.
Kondisi ini dimungkinkan menjadi salah satu penyebab dari banyaknya pemasok batubara yang memprioritaskan ekspor. Namun demikian, ia memastikan bahwa para pengusaha tetap berkomitmen memenuhi kewajiban DMO.
“Ekosistem penambang besar ini kita atur sedemikian rupa untuk bisa menjamin kepastian supply batubara dalam negeri. Tak hanya penambang besar, melainkan penambang kecil juga mendapat kesempatan yang sama untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri,” pungkasnya. (git/fin)