Kemudian, Direktur Human Capital dan Kepatuhan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Bob Tyasika Ananta menyampaikan berdasarkan POJK Nomor 39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud Bagi Bank Umum, OJK mengkategorikan fraud berdasarkan 7 kegiatan yang ada di Perbankan yaitu pengambilan dana nasabah, aktivasi echannel, over service yang menimbulkan kerugian, debitur/usaha fiktif, debitur topengan, rekayasa dokumen kredit, biaya bank untuk menjaga kolektibilitas, gratifikasi/cashback, penyalahgunaan kartu ATM, pertukaran data nasabah yang tidak sah antar bank, penyalahgunaan rekening sementara, Pencurian Kas Bank, Mark Up untuk kepentingan pribadi, Peretasan, Phising, Skimming, Soceng, Window Dressing agar mencapai target, dan aktivitas lain yang dapat dipersamakan dengan fraud.
Oleh karenanya, dalam 4 (empat) pilar strategi anti fraud yaitu Pencegahan, Deteksi, Investigasi, Pelaporan dan Sanksi, serta Pemantauan Evaluasi dan Tindak Lanjut, pilar pencegahan merupakan titik paling strategis karena memuat langkah untuk mengurangi potensi terjadinya fraud, meningkatkan kesadaran anti fraud dan kebijakan mengenai pegawai serta langkah lain untuk pencegahan fraud. Lalu pada pilar deteksi, memuat langkah identifikasi dan menemukan Fraud dalam kegiatan usaha Bank, mencakup kebijakan dan mekanisme whistleblowing.
“Kemudian pada pilar investigasi pelaporan dan sanksi, perlu adanya kerjasama dengan pihak ketiga, jadi inisiatif yang dilakukan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum diharapkan menjadi improvement kemampuan di aspek pencegahan dan investasi. Lalu pada pilar pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut, merupakan feedback untuk bagaimana memperbaiki di pilar pencegahannya,” ujar Direktur Human Capital dan Kepatuhan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Direktur Compliance and Legal PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Eko Waluyo menyampaikan kasus fraud paling banyak terjadi dalam bentuk korupsi, tergantung dari sifat bisnisnya, dimana terungkapnya kasus ini banyak dari saranan audit, sehingga data inilah yang digunakan oleh PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
“Pihak yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap fraud adalah karyawan sehingga dikembangkan pola pengaduan dimana memberikan early detection yang dapat diperluas. Fraud terjadi di seluruh lapisan pekerja, berarti tidak terbatas pada level tertentu sehingga strategi yang dilakukan tidak boleh fokus hanya pada satu layer tertentu, maka pengamanannya harus berlapis-lapis,” Direktur Compliance and Legal PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Eko Waluyo.
Untuk mengatasi fraud, PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. melakukan mitigasi baik itu dalam bentuk penetapan struktur internalisasi, pengawasan dan sistem deteksinya sehingga bisa menekan fraud, dan langkah strategis untuk mitigasi, masih fokus pada fraud risk assesment yang memiliki potensi tinggi, kemudian juga ada pembicaraan dengan KPK untuk melakukan implementasi whistleblowing system dengan KPK, serta terbuka untuk melakukan dengan Kejaksaan ataupun aparat penegak hukum yang lain.
Presiden ACFE Indonesia Chapter, Dr. Gatot Trihargo, Ak., Mafis., CA., CPMA., CFE. menyampaikan, menurut Report to the Nation-Key Findings, kejadian fraud tetap ada dan menyebabkan kerugian yang besar, sehingga perlu adanya upaya yang dilakukan untuk strategi anti fraud yaitu mendorong penggunaan teknologi yang selama ini belum terlihat dalam pilar pencegahan, proactive data monitoring guna pendeteksian dini dengan menggunakan data yang lebih kredibel, dan apabila mampu menggabungkan prosedur dan analitik secara proaktif dan sengaja untuk mencari metode kecurangan untuk mencegah terjadinya fraud.
“Kemudian early warning system juga penting dilakukan karena cepat dalam mengonfirmasi dan mengirimkan notifikasi ke user sehingga dapat melihat apabila adanya transaksi mencurigakan. Sistem ini semakin baik apabila memiliki database yang baik dan jangkauan luas sehingga dapat membuat early warning signal untuk melakukan analisa. Early Warning System juga memasukan parameter dan data terbaik sebagai restoring guna memudahkan untuk melakukan putusan bisnis berikutnya,” ujar Presiden ACFE Indonesia Chapter.
Atase Kejaksaan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, Yusfidli Adhyaksana mengatakan arti penting pencegahan dan pendeteksian fraud yaitu dapat menjaga image Singapura sebagai hubungan yang dapat dipercaya dan diandalkan, dapat memperkuat governance dan legislasi yang berkaitan dengan cyber security dan berbagai informasi dan bekerjasama baik antara pemangku kepentingan dalam negeri dan lintas negara, dengan melakukan strategi yaitu diukur dari MAS (monetary authority of Singapore) dan dilaksanakannya prinsip umum governance yaitu know your principle atau kenali costumer (ia harus jujur, intergritas dan tidak punya hutang).
Selain itu, dalam meningkatkan kesadaran, Pemerintah Singapura membentuk anti scam centre sehingga dapat merespon atau identifikasi kasus-kasus yang berhubungan dengan fraud, serta dilakukannya whistleblowing system, dan membuat papan peringatan yang dapat secara langsung dibaca masyarakat, kemudian menggunakan website scam alert untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menginformasikan data dan mengidentifikasi scam fraud.
“Dalam penetapan strategi pencegahan fraud, Singapura mengacu pada praktek dan standar internasional seperti KYC, fit and proper criteria dan raising awareness. Kedua, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah fraud, yaitu dengan adanya kolaborasi dengan berbagai pihak dan yang tidak kalah penting, masyarakat harus diingatkan bahaya fraud dikehidupan sehari-hari,” ujar Atase Kejaksaan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura.(rls/lan/gw)