JAKARTA - Kebijakan soal bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), dimana pemerintah saat ini menggenjot PLTS Atap berpotensi menjadi bumerang bagi kedaulatan energi nasional. Sebab, kebijakan itu dinilai hanya menguntungkan suatu golongan, namun merugikan kepentingan lain yang lebih besar.
Hal ini disampaikan oleh Praktisi Energi, Inas N Zubir, saat dihubungi Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (28/9/2021). Menurutnya, kebijakan soal PLTS Atap hanya menguntungkan golongan mampu, sementara PLN yang merupakan penyedia listrik bagi seluruh rakyat Indonesia, justru dirugikan dengan kebijakan tarif ekspor-impor kWh listrik dari PLTS Atap.
"PLTS Atap ini bisa jadi bumerang, misal saya orang kaya, saya punya sarang burung walet dan saya punya tanah 1 hektare, kemudian saya bikin bangunan dan saya bikin gentengnya terus pasang PLTS Atap, bawahnya cukup sarang burung walet saja. Betapa nanti rusaknya pemandangan cuma ada bangunan, ada atapnya yang lebar dan diatasnya cuma ada solar panel," ujar Inas yang juga Politisi Partai Hanura tersebut.
BACA JUGA: Kemnaker: 2.819 Perusahaan Diperkirakan Gulung Tikar di 2021
Selain itu, kebijakan PLTS Atap ini akan menjadi kacau karena tidak disertai perencanaan yang matang. "Bayangkan semua orang sekarang bisa bikin panel surya terus ekspor listrik ke PLN, bangkrut nanti pembangkit listrik yang lain," tuturnya.
Menurut Inas, kebijakan PLTS Atap yang digenjot pemerintah saat ini terlalu naif, karena memang PLTS Atap tidak akan bisa mengejar kapasitas 35 ribu MegaWatt. "Jangankan 35 ribu MegaWatt, 10 ribu MegaWatt saja setengah mati mengejarnya," kata dia.
Namun demikian, kata Inas, ketika berbicara EBT, bukan hanya PLTS Atap, namun juga ada pembangkit listrik lainnya seperti PLTP, PLTB, PLTA dan lainnya. Dalam kurun waktu saat ini hingga 2060 ketika pemerintah menargetkan Netral Emisi Karbon, maka pembangkit listrik yang lain juga harus menjadi perhatian.
"Kenapa tidak dari awal planning nya misalnya PLTA, tidak dari awal nuklir, kan itu yang seharusnya dikejar. Malah kemarin kok yang dikejar batu bara. Kenapa? karena saat itu China mulai mengurangi impor batubara. Itulah makanya waktu itu ada kebijakan mengejar 35 ribu MegaWatt itu sebagian besar batubara," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap sangat menghebohkan jagad energi. Sebab, aturan yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 itu dianggap merugikan PLN karena skema tarif ekspor-impor kWh listrik ke PLN berubah dari 1 : 0,65 menjadi 1 : 1. Artinya PLN harus membeli listrik yang dihasilkan PLTS Atap, dengan tarif kWh listrik yang sama dengan ketika pelanggan membayar tarif kWh listrik kepada PLN. Padahal di sisi lain, PLN harus menyiapkan infrastruktur agar ekspor-impor listrik dari pemilik PLTS Atap ke PLN bisa dilakukan. (git/fin)