News . 20/09/2021, 19:40 WIB

Pejabat LPEI Diperiksa Soal Kredit Macet Rp4,7 Triliun

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memeriksa saksi-saksi terkait kredit macet di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) senilai Rp4,7 triliun. Kali ini giliran seorang pejabat audit di LPEI.

/p>

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan seorang pejabat dipanggil tim penyidik dari Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Ditdik Jampidsus) Kejagung. Pemeriksaan dilakukan untuk mendalami dan mencari tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI yang merugikan keuangan negara Rp4,7 triliun.

/p>

"Saksi yang diperiksa adalah SH selaku PGS Kepala Divisi Spesial Audit LPEI. Pemeriksaan terkait audit kepada debitur LPEI," katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/9).

/p>

Pekan lalu 16 orang diperiksa dalam kasus ini. Para saksi tersebut merupakan pejabat dan mantan pejabat di lingkungan LPEI, serta pimpinan di perusahaan swasta.

/p>

“Keterangan para saksi dibutuhkan untuk menemukan fakta apa yang didengar, dilihat dan dialaminya. Agar ditemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI,” katanya.

/p>

Sebelumnya Leonard mengatakan pihaknya tengah usut kredit macet LPEI kepada 9 perusahaan.

/p>

“Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resik dalam posisi colektibility 5 atau macet per tanggal 31 Desember 2019,” ujarnya, Rabu (30/6).

/p>

Dikatakannya, LPEI diduga melakukan penyaluran kredit tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.

/p>

“Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN),” jelasnya.

/p>

Diterangkan Leonard, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun itu meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada profitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mengkover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke – 9 debitur.

/p>

“Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr S,” ujarnya.

/p>

“Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI,” tambahnya.

/p>

Akibatnya, hal tersebut di atas menyebabkan debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikategorikan macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar dan denda serta bunga Rp107, 6 miliar.(lan/gw/fin)

/p>

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com