/p>
JAKARTA - Program pengadaan laptop untuk digitalisasi sekolah Kemendikbudristek masih kontroversi. Infratruktur yang kurang memadai jadi alasan utama tidak tepatnya pengadaan laptop tersebut.
/p>
Direktur Komite Pengawasan Legislatif (KOPEL) Anwar Razak menilai, jika program digitalisasi berupa pengadaan laptop tersebut ditunda. Pengadaan laptop, kata Razak belum sesuai dengan skala prioritas.
/p>
“Program ini banyak masalah, mulai dari pengadaannya dari Dana Alokasi Khusus yang kurang transparan sehingga memicu penyelewengan. Banyak fasilitas sekolah di Kabupaten Bogor yang notabene dekat Ibukota tapi memprihatinkan," kata Razak, Selasa (7/9).
/p>
Sementara itu, Peneliti ICW Dewi Anggraini menuturkan bahwa proyek ini bermasalah mulai dari operating system (OS) yang kurang familiar. Hingga kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang cenderung inefisien dan monopoli.
/p>
“Pengadaan laptop dari perusahaan domestik dengan tingkat komponen dalam negeri memang terlihat lebih pro lokal. Namun hanya ada 6 perusahaan yang mampu melakukan itu sehingga ini bisa mengarah ke monopoli” ujar Dewi.
/p>
Senada, Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa juga menyatakaan penolakannya terhadap pengadaan laptop sebesar Rp.3,7 riliun untuk program digitalisasi. Menurutnya, hal ini akan menimbulkan masalah baru.
/p>
Ia menilai, pengadaan laptop sekolah ini belum realistis. Baik dari segi skala prioritas maupun dari kesiapan sekolah-sekolah.
/p>
"Dari segi spek saja, misalnya, OS Chromebook. Yaitu tidak bisa berjalan jika tidak ada internet yang cepat. Lantas, bagaimana dengan sekolah-sekolah seperti di Berau yang kondisi internet bahkan listriknya masih terbatas," kritiknya.
/p>
Karena itu, penggunaan laptop ini belum tentu bermanfaat sehingga menjadi mubazir. Pengawasan dan pendampingannya juga sulit sehingga rawan terjadi penyelewengan. “Saya khawatir proyek ini akhirnya menjadi catatan BPK,” ujar Ledia. (khf/fin)
/p>