JAKARTA- Mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah menilai, menyingkirkan pegawai 51 dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos dalam tes wawadan kebangsaan (TWK), sebagai upaya untuk membuat lembaga antirasuah itu lebih dikuasai.
"Siapa yang ingin kuasai KPK? Siapa yang berkepentingan KPK melemah? Atau siapa yang akan gunakan KPK demi kepentingan pribadi atau kelompok dan habisi lawan-lawanya? Siapapun itu, di sinilah pentingnya sebuah KPK yang Independen," kata Febri lewat keterangan tertulisnya dikuti FIN Kamsi (27/5).
Febri Diansyah mengatakan, upaya pelemahan KPK mulai terlihat pada saat revisi UU KPK berhasil disepakati. Dengan adanya resvisi itu, KPK dianggap bisa dikuasai. Hanya saja, masih ada beberapa anggota yang dianggap membahayakan.
"Awalnya mereka pikir, KPK sudah bisa dikuasasi dan dilemahkan sejak revisi UU KPK berhasil dilakukan sepaket dengan Pimpinan KPK yang lahir dari proses dan calon yang kontroversial. Tapi sejumlah Pegawai KPK terus berbuat hingga OTT dua kasus besar tak terbendung dan dua Menteri dari Parpol jadi tesangka," ujar Febri.
Dia mengatakan, kasus-kasus yang diungkap sejumlah penyidik KPK menjadi alasan mereka disingkirikan melalui tes wawasan kebangsaan.
"Ini tmpaknya jadi salahsatu alasan kenapa 75 Pegawai KPK harus disingkirkan meskipun tenggat waktu 2 tahun yang diamanatkan UU masih sampai dengan Oktober -November," tuturnya..
"Disinilah “wawasan kebangsaan” dibajak untuk kepentingan penyingkiran tersebut. Bahkan Putusan MK tidak dilaksanakan dan arahan Presiden tidak dihargai," imbuh dia.
Belum lagai, kata Febri, isu yang dibangun di KPK adalah isu Taliban. Menurutnya isu tiu konyol.
"Ada stau isu konyol yang konsisten digunakan sejak 2019 lalu: Ada Taliban di KPK.. Isu yg dikembangkan sedemikian rupa untuk mematikan akal sehat publik. Tak bisa dipungkiri, sejumlah orang tertipu denga isu ini. Sekarang isu itu diolah lagi.. Tapi entah karena apa cap “merah” berubah dari 75 jadi 51," paparnya.
Selain itu, ada isu lain yang dialamakan untuk Novel Baswedan. Yakni memiliki hubungan saudara dengan Anies Baswedan sehingga tidak bisa membongkar dugaan korupsi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
"Ada isu lain yang digunakan menyerang Novel yang sejak dulu memimpin pembongkaran sjumlah skandal korupsi besar di Indonesia.. Novel distigma, dituduh dan dihubungkan dengan Gubernur DKI," katanya.
Padahal, lanjut Febri, penugasan penanganan kasus merupakan wewenang Pimpinan, Deputi dan Direktur.
"Kita paham, semua isu dapat digunakan, bahkan fitnah dan kebohongan akan dijahit sedemikian rupa agar KPK tumbang, hancur dan mati. Namun itu masih biasa dan telah terjadi sebelumnya. Sekarang, saya melihat, bahkan arahan Presiden yang disampaikan secara terbuka tidak dihargai. Diabaikan," ucapnya.
"Wajar kita bertanya, siapa yang sangat berkepentingan saat ini menyingkirkan 75 Pegawai KPK terbaik. Atau, siapa yang sekuat itu bisa mengabaikan arahan Presiden dan tidak melaksanakan Putusan MK secara utuh? Apa kepentingan besar ke depan yang sedang disusun?" pungkanya. (dal/fin)