JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melihat, peningkatan jumlah impor produk pakaian jadi belakangan ini membuat membuat industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri semakin terancam.
Ekonom Senior INDEF, Enny Sri Hartati menilai, kebijakan impor pakaian jadi menjadi sentimen buruk bagi investasi dan berdampak pada neraca perdagangan, sehingga berpotensi melemahkan konsumsi.
"Industri kecil dan menengah sangat terganggu dengan serbuan impor ini, karena akan menyulitkan pemasaran produk-produk dalam negeri," kata Enny dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (22/4/2021)
BACA JUGA: Israel Lakukan Pembunuhan Massal Atas Nama Negara
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, ekspor tekstil senilai 10,55 miliar dolar AS, sementara impor senilai 7,20 miliar dolar AS."Meskipun surplus, INDEF menyoroti komposisi ekspor impor TPT tahun 2020 tersebut paling banyak didominasi adalah pakaian jadi, dibanding benang, serat, dan bahan baku tekstil lainnya," ujarnya.
Menurut Eny, tingginya impor produk pakaian jadi disebabkan pemerintah masih memberlakukan tarif bebas bea masuk untuk sektor ini. Jika kebijakan impor dipertahankan, maka pertumbuhan industri TPT di tahun-tahun mendatang dikhwatirkan akan terus negatif.
BACA JUGA: Melawan, Terduga Teroris Tewas Ditembak
"Maraknya produk impor pakaian jadi akan berimbas pada pemulihan ekonomi di masyarakat. Ditambah lagi, jika industri TPT terus mengalami penurunan penjualan karena pandemi Covid-19," terangnya.Terlebih lagi, kata dia, industri TPT di Indonesia melibatkan tenaga kerja yang sangat besar, sehingga diperlukan adanya keberpihakan dari Pemerintah di sisi regulasi.
"Pemerintah perlu memberikan perlindungan pasar dalam negeri dari impor yang berlebihan untuk memberikan kepastian pasar bagi industri TPT dalam negeri," pungkasnya. (der/fin)