JAKARTA - Mantan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M Zulficar Mochtar mengungkapkan ada dua perusahaan eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur yang melakukan ekspor secara ilegal.
Kedua perusahaan itu PT Aquatic SS Lautan Rejeki dan PT Tania Asia Marina. Keduanya melakukan ekspor benur pertama kali sekitar Juni 2020 dan dianggap ilegal.
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi untuk tiga terdakwa kasus suap eskpor benur. Ketiganya yakni Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo, dan dua staff khususnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri.
"Setau saya ada dua perusahaan yang melakukan ekspor pertama kali, itu pertengahan Juni, tapi prosesnya mohon maaf itu tidak melewati saya (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP). Jadi saya anggap itu agak ilegal," ujar Zulficar dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Rabu (21/4).
"Jadi tau-tau saya membaca di koran. Ada yang sudah lolos ekspor. Dua perusahaan kalo tidak salah Aquatic (SS Aquatic Lautan Rejeki) dan Tania Marina. (Tania Asia Marina)," lanjutnya.
Atas hal itu, Zulficar pun langsung melaporkan lolosnya kedua perusahaan kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Rina.
Rina pun membenarkan dua perusahaan itu melakukan ekspor benur secara ilegal.
"Dari informasi itu saya langsung mengontak Ibu kepala badan karantina (Rina) menanyakan, apa betul dua perusahaan itu sudah ekspor. Ibu Rina mengatakan betul," jelasnya.
Padahal, kata Zulficar, dirinya belum mengeluarkan surat apapun kepada dua perusahaan tersebut. Namun, Rina beranggapan syarat-syarat ekspor dianggap lengkap.
"Saya bilang saya belum mengeluarkan surat apapun. Belum mengeluarkan SKWP (Surat ketetapan waktu pengeluaran). Kok tiba-tiba udah ekspor. Bu Rina berasumsi syaratnya sudah lengkap," jelas.
Zulficar pun mengadukan dan mendiskusikan hal tersebut kepada Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf serta Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto.
"Kami lalu diskusikan dengan... Irjen Pak Yusuf waktu itu, Dirjen Budidaya dan eselon satu lainnya. Kita petakan, ternyata disitu banyak proses yang dilanggar. Dari situ kita harus perketat peraturan supaya selanjutnya tidak terulang," pungkasnya.
Diketahui, Edhy Prabowo didakwa menerima suap Rp25,7 miliar terkait perizinan ekspor BBL atau benur. Suap diduga diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL) kepada PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP) dan para eksportir BBL lainnya.
Edhy didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (riz/fin)