JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akan mengubah paradigma penyelenggara maupun penegak hukum di Indonesia.
Perubahan paradigma itu berupa dari semula pengenaan hukuman badan menjadi pemulihan kerugian negara dari suatu tindak pidana.
"RUU Perampasan Aset ini akan merubah paradigma. Selama ini perkara pidana lebih bayak menghukum orangnya ketimbang mengembalikan secara maksimal kerugian negara. Instrumen pidana-nya sepertinya lebih puas menghukum badan, padahal pengembalian aset ini penting," ujar Fickar saat diskusi virtual pada Ruang Anak Muda di Jakarta, Selasa (20/4).
Ia menjelaskan, selama ini paradigma hukum dalam menangani kejahatan ekonomi lebih menekankan pada aspek pidana dan menghukum pelaku ketimbang memprioritaskan pengembalian kerugian negara.
Karena itu, dirinya mengaku memberi dukungan moril kepada eksekutif dan legislatif untuk segera melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU tersebut.
Fickar meyakini dengan UU Perampasan Aset, penegak hukum akan secara maksimal mengembalikan kerugian negara seperti pada perkara yang sistemik dan penuh rekayasa, kasus Jiwasraya dan Asabri.
"Selama ini sulit mengembalikan kerugian negara, terutama dari kasus yang penuh rekayasa keuangan dan rekayasa legal, akan sulit menembus karena perlu dibuktikan terlebih dahulu. Namun dengan RUU Perampasan Aset, tidak perlu menunggu pembuktian," ucap Fickar.
Ia membantah jika perampasan aset dapat melanggar hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, konstruksi hukum RUU Perampasan Aset lebih mengarah pada perdata.
Sehingga, kata dia, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan keberatan dan melakukan pembuktian.
"Memang ini ranah pidana tapi konstruksinya ke perdata dan pihak yang merasa dirugikan juga bisa melakukan perlawanan dan pembuktian. Sehingga nantinya pembuktian terbalik," imbuhnya. (riz/fin)