Sektor Otomotif Perlu Insentif Lanjutan Untuk Garap Mobil Listrik

fin.co.id - 19/03/2021, 16:19 WIB

Sektor Otomotif Perlu Insentif Lanjutan Untuk Garap Mobil Listrik

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

 

JAKARTA - Sektor otomotif memerlukan insentif lanjutan untuk pengembangan industri mobil listrik berbasis baterai di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Wakil ketua umum Kadin Bidang Energi, Minyak dan Gas, Bobby Gafur Umar.

Bobby menjelaskan, insentif dukungan regulasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Pengembangan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai merupakan upaya yang luar biasa dari pemerintah. Namun demikian, hal itu perlu didukung juga dengan insentif lainnya agar industri kendaraan listrik bisa berjalan.

"Yang kita perlukan adalah keberpihakan dan dukungan yang seluas-luasnya dengan stimulus. Misalnya kita itu kalau mau membangun industri harus kompetitif, dan kompetitif itu diperlukan peraturan fiskal yang menarik buat investor. Kemudian sarana infrastruktur dan logistik yang tersedia, sehingga kita punya basis kendaraan dengan harga yang kompetitif," ujar Bobby kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Jumat (19/3).

Bobby melihat, kendaraan listrik adalah masa depan transportasi Indonesia. Menurutnya, potensi pengembangan mobil listrik di Indonesia sangat besar. Selain Indonesia sudah memiliki industri otomotif yang berpengalaman, potensi lainnya yaitu cadangan nikel yang melimpah juga dimiliki Indonesia.

"Indonesia itu punya 21 juta ton cadangan nikel. Nikel ini adalah salah satu bahan utama dalam komponen utama mobil listrik. Kalau kita lihat disitu Indonesia sebenarnya punya modal yang sangat besar. Dan industrinya sendiri, industri otomotifnya sudah cukup advance di Indonesia. Kita bahkan sudah dapat komitmen bahwa Honda akan masuk investasi Rp5 triliun, disusul Toyota Rp20 triliun, tinggal kesiapan kita bagaimana. Kita siap, tinggal peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah untuk mendorong kearah sana," tuturnya.

Menurut Bobby, didalam industri mobil listrik, baterai memegang peranan yang sangat sentral. Menurutnya jika Indonesia bisa memaksimalkan potensi nikel yang ada untuk membangun industri baterai, maka setidaknya lebih dari 50 persen komponen mobil listrik sudah ada di Indonesia. Dari sisi ini, jelas menurutnya produk yang dihasilkan akan sangat kompetitif.

"Kita jangan melihat kita sebagai market, tapi kita melihat kita sebagai pemain, sebagai industri utama dibidang otomotifnya. Dengan arah trend kendaraan listrik kedepan, kita mempunyai modal adalah bahan baku dari baterai. Dan baterai itu kan 50 sampai dengan 60 persen mobil listrik itu biayanya ada di baterai. Baterai ini ada 11 komponen, dimana 70 persen-nya itu hanya 3 komponen saja. Nah salah satu komponen terbesar itu Katoda. Katoda ini bahan terbesarnya adalah Nikel. Jadi disitu adalah Indonesia bisa menjadi produsen baterai yang menjadi komponen utama mobil listrik," jelasnya.

Namun demikian, Indonesia tidak boleh terlalu lama menangkap potensi tersebut. Sebab, negara-negara lain juga tengah berjuang untuk melakukan transformasi ke industri mobil listrik. Jika tidak dilakukan segera, dikhawatirkan potensi besar yang ada akan sia-sia karena Indonesia tertinggal dari negara kompetitor dalam pengembangan mobil listrik.

"Modal kita sekarang untuk kendaraan masa depan itu arahnya semua menuju ke kendaraan listrik. Jadi pada 2030 beberapa negara sudah melarang penjualan kendaraan, diluar kendaraan listrik. Kalau menurut saya kita sudah cukup siap," pungkasnya. (git/fin)

Admin
Penulis