News . 28/02/2021, 06:38 WIB
JAKARTA – Rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu langkah maju. Selama ini, penerapan pasal karet rentan digunakan untuk menghukum.
Misalnya saja korban kekerasan berbasis gender online (pasal asusila), represi legal warga yang mengkritik kebijakan (pasal defamasi), represi minoritas agama (ujaran kebencian), dan lain-lain.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, kondisi tersebut membuat posisi saksi, korban, saksi pelaku, maupun pelapor menjadi semakin sulit.
Ia melanjutkan, kritik tersebut berdasar praktik kecenderungan over criminalization dalam penerapan UU ITE. Metode penanganan perkara ITE lebih menekankan sanksi pidana, daripada respon kontrol sosial lainnya yang menekankan restorasi (pemulihan) dan mediasi.
Sejumlah prinsip cost and benefit untuk menghindari kerugian dan konflik, prinsip kehati-hatian karena berpotensi pelanggaran hak dasar, dan menghindari penghukuman yang tidak berdasar (due process of law).
Berdasar data perlindungan ke LPSK tiga tahun terakhir (2017-2020), terdapat 31 kasus (68 orang) permohonan perlindungan atas jeratan UU ITE. Para pemohon perlindungan ada yang berstatus korban, pelapor, saksi dan tersangka.
“Beberapa perkara terkait pelanggaran kesusilaan, mencemarkan nama baik, atau untuk membalas laporan masyarakat atas sejumlah kasus korupsi, kekerasan sekual, sengketa lingkungan hidup, dan penganiayaan,” paparnya, Sabtu (27/2).
Ia menegaskan, beberapa perkara seperti penipuan, pemerasan, pengancaman, berita bohong, grooming, prostitusi online, dan kekerasan seksual (termasuk konten pornografi), serta SARA memang UU ITE masih relevan digunakan.
“Namun, di tengah polarisasi yang meningkat imbas dari pemilu, pada perkara yang bernuansa politis-horizontal polisi juga perlu melihat lebih jauh pokok perkara yang terjadi, dan tidak mudah menerapkan UU ITE,”jelasnya.
Dampak penerapan UU ITE secara hitam putih juga berakibat buruk bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Dari hasil laporan sejumlah survei lembaga demokrasi menunjukkan anjloknya indeks demokrasi Indonesia disebabkan kebebasan sipil yang menciut, khususnya karena efek UU ITE.
Yang patut menjadi keprihatinan adalah posisi indeks demokrasi saat ini menempati urutan terendah kurun waktu 14 tahun terakhir. Artinya, kecacatan demokrasi yang dialami mesti menjadi refleksi bersama.
“Salah satu contoh penerapan UU ITE yang LPSK tangani adalah pengaduan Baiq Nuril. Ini salah satu bentuk di mana seorang korban pelecehan seksual malah dipidanakan karena dianggap mentrasmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan,” ujar Edwin.
LPSK menilai saat ini adalah momentum yang tepat untuk meninjau ulang norma UU ITE. LPSK memberikan beberapa catatan terkait penerapannya. Pertama, revisi UU ITE perlu melihat adanya keterhubungan dengan Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014.
Selama ini kerap terjadi serangan balik dari pelaku atas sejumlah kasus korupsi dan kekerasan seksual dengan cara mengkriminalisasi saksi dan pelapor. Dampaknya adalah tergerusnya peran serta masyarakat dalam membongkar kasus.
Kedua, penyelesaian perkara tertentu dengan mekanisme restorative justice menjadi pilihan prosedur yang utama untuk memulihkan martabat para korban.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com