News . 18/02/2021, 17:30 WIB

DPR: Benahi BPN Agar Tak Ada Sertifikat Ganda

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak yakin sengketa pertanahan akan selesai begitu sertifikat tanah elektronik diterapkan. Baginya, kunci penyelesaian masalah pertanahan justru terletak pada pembenahan SDM (sumber daya manusia) Kementerian ATR/BPN itu sendiri.

Karenanya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengaku heran, bahwa Menteri ATR/BPN hanya beralasan bahwa program digitalisasi pertanahan ini demi meminimalisir kebocoran sertifikat ganda serta pembenahan akurasi batas tanah. Tapi, yang harusnya menjadi prioritas, yakni persoalan pembenahan SDM agar tak ada lagi yang 'bermain' tidak disinggung.

“Saya tidak percaya masalah pertanahan akan selesai. Saya melihat, yang perlu dibenahi adalah SDM. Kenapa? Karena masalah-masalah sertifikat ganda muncul karena oknum di kementerian ATR/BPN,” jelasnya kepada wartawan, Kamis (18/2).

Seharusnya, kata dia, upaya digitalisasi dikhususkan dulu untuk internal BPN. Sebatas memastikan data kementerian satu data. “Jadi, ketika ada kasus sertifikat ganda, bisa ketahuan mana yang bukan produk BPN. itu saja,” ujarnya.

Junimart menyampaikan, Komisi II akan menjadwaIkan memanggil Kementerian ATR/BPN untuk mempertanyakan penerapan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik ini. “Apa tujuannya? Kalau cuma memenuhi UU Omnibus Law tidak harus,” katanya.

Hal yang serupa disampaikan Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah, Abdul Rachman Thaha. Kata dia, seharusnya kementerian ATR/BPN fokus menguatkan penindakan terhadap oknum-oknum internal BPN.

“Masih banyak tanah-tanah di berbagai daerah masih bermasalah, belum lagi mafia-mafia tanah yang terkadang melakukan penerbitan sertifikat ganda itu dilakukan dengan berkerja sama oleh oknum BPN. Ini sebenarnya bukan masalah baru,” terangnya.

Untuk itu, Thaha merasa perlu ada kajian lagi sebelum program sertifikat elektronik ini diterapkan. Hal ini bertujuan menghindarkan masyarakat dari masalah baru, misalnya masalah batas-batas tanah yang tidak sesuai dengan sertifikat fisik yang dimiliki masyarakat.

“Pihak ATR/BPN perlu mengedepankan asas kehatian-hatian untuk mengubah sertifikat fisik ke sertifikat elektronik. Ini sangat rawan, bisa memunculkan konflik di tengah masyarakat, apalagi di era gital begini semua bisa direkayasa,” sebutnya.

Rampas Tanah Adat

Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, khawatir sertifikat tanah elektronik akan semakin melanggengkan perampasan wilayah adat. Terlebih, sejauh ini, belum ada sertifikat tanah kolektif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adat.

“Konsen kami adalah ketika ini akan dijadikan alat memperluas dan merampas hak wilayah adat untuk perusahaan,” kata Rukka.

Rukka pun mempertanyakan urgensi penerapan sertifikat tanah elektronik saat ini. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan dulu konflik-konflik pertanahan sebelum bicara soal sertifikat elektronik.

“Ini bisa sangat mengancam dan membuat masif perampasan tanah adat oleh korporasi dan individu yang masuk mengkavling-kavlingkan wilayah adat. Sekarang semua sudah terjadi di mana-mana. Pejabat dan politisi bagaimana bisa punya tanah di wilayah adat,” tutupnya.(lan/rls/fin)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com