Menakar Partai Baru di Pemilu

fin.co.id - 06/02/2021, 09:00 WIB

Menakar Partai Baru di Pemilu

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Partai pendatang baru dianggap sulit untuk bisa bersaing. Dari pengalaman Pemilu 2019 lalu, partai baru bisa dibilang gigit jari. Perolehan suara tidak begitu memuaskan. Kalah dengan partai besar apalagi yang tengah berkuasa.

Perlu strategi khusus agar partai bisa dilirik oleh pemilih. Masyarakat saat ini telah melek politik. Mudahnya mencari informasi membuat pemilih lebih seklektif menentukan pilihannya. Sekjen Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq mengatakan, jika partainya memiliki strategi tersendiri agar dilirik dalam Pemilu mendatang.

Partai politik harus berhenti menjadi partai yang mengobral janji demi menggalang suara. “Parpol harus betul-betul menjalankan semua fungsi sebagai partai politik. Terutama pendidikan politik dan advokasi atau agregasi kepentingan politik masyarakat," kata Siddiq, Jumat (5/2).

BACA JUGA:  Kasus Prostitusi Online di Makassar, Polisi Tetapkan Dua Mucikari Tersangka

Menurutnya, jika hal tersebut dilakukan, masyarakat tentunya akan memiliki preferensi baru tentang partai politik. Masyarakat bisa menerima dan menyukai partai politik. Jadi, tidak sekadar transaksi jual beli suara seperti perilaku politik selama ini.

Hanya saja, setiap strategi tersebut perlu didukung dengan penguatan infrastruktur teritorial partai terpenuhi secara nasional. Saat ini, Partai Gelora sudah terbentuk di 34 provinsi.

“Kami sudah ada di 511 kabupaten/kota. Tinggal tiga lagi yang belum, ada juga di sekitar 5.700-an kecamatan atau 72 persen ada kepengurusan Partai Gelora," katanya.

BACA JUGA:  Menko Perekonomian Ungkap Pemerintah Berencana Berlakukan PPKM Skala Mikro

Ia juga mengklaim jika partainya sudah membuat dan mengatur kepengurusan di tingkat desa kelurahan. Ada sekitar 2.500 yang sudah terbentuk dari 80 ribuan. Sisanya masih banyak. "Tapi akan kami rampungkan hingga jelang 2024,” kata Mahfudz.

Sementara itu, Cendikiawan Muslim Prof Azyumardi Azra menyarankan para pendiri partai baru untuk mencari cara lain untuk memperoleh suara yang signifikan agar bisa memenangkan partainya.

“Partai yang kuat keuangannya pun tidak bisa masuk parlemen. Misalnya Perindo, walau didukung keuangan dan media yang kuat, tetap saja tidak bisa masuk. Jadi Partai Pak Mahfud (Partai Gelora) walau didukung kekuatan uang sekalipun tidak akan memberikan jaminan,” kata Azra.

BACA JUGA:  Tembus Wilayah Terisolir, Kelistrikan Terdampak Gempa Sulbar 100 Persen Pulih

Meskipun begitu, kata Azra, harus diakui bahwa masih ada partai yang terbilang masih baru namun dia bisa memenangkan pileg karena dukungan dana yang cukup atau karena tokoh pendirinya.

Kedua partai itu, yakni Gerindra yang baru berdiri tahun 2008 dan Nasdem yang baru berdiri pada tahun 2011. Seperti yang diketahui, Nasdem bisa mendapat perolehan suara hingga 9,05 persen dan Gerindra 12,57 persen pada Pemilu 2019.

Oleh sebab itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu berpesan kepada keempat partai yang baru didirikan pada 2020 itu untuk mempunyai strategi khusus jika ingin betul-betul bersaing dengan partai-partai lainnya yang lebih senior.

“Partai harus reorientasi kepentingan rakyat. Kembali kepada rakyat, tidak hanya mementingkan kepentingan politik mereka sendiri, kepentingan kekuasaan tanpa mementingkan rakyat sama sekali,” kata dia.

BACA JUGA:  Bupati Terpilih Warga Negara AS, KPU Pastikan Tidak Ada Sengketa dalam Pilbup Sabu Raijua

Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat berharap panggung politik, persaingan kompetisi antar parpol ibarat sepak bola.

“Tunjukkan permainan yang indah, cerdas, penuh etika, sehingga menarik untuk ditonton dan diikuti. Jangan menyebalkan,” katanya. Partai politik baru juga harus mencoba memberikan alternatif baru.

“Apakah tawaran dari Partai gelora misalnya, untuk mensinergikan agenda keummatan dan kebangsaan bisa menarik perhatian calon pemilih, itu kita lihat nanti. Kemudian, perbedaan spektrum politik, tidak harus meninggalkan prinsip kebangsaan kita, Satu Bangsa, Satu tanah Air dan Satu Bahasa yaitu Indonesia,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Moya Institute yang juga Peneliti Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Hery Sucipto menilai kehadiran partai politik baru menjadi menarik, meskipun Pilpres 2024 masih tiga tahun lebih, namun partai-partai baru sudah mulai ancang-ancang.

“Pilpres 2024 tidak ada incumbent. Selain itu, kenapa masih ada yang berani mendirikan partai baru di tengah paceklik politik saat ini yang kita tahu semua penuh ketidakpastian, antara lain masih banyaknya korupsi, instabilitas politik dan ekonomi,” tandasnya. (khf/fin)

Admin
Penulis