JAKARTA - Sejumlah komoditas pangan setiap tahun pasti mengalami mengalami kenaikan. Ini adalah persoalan serius namun seolah tidak mampu diatasi pemerintah. Pasalnya, harga kedelai sampai menembus di angka Rp9.300 per kilogram (kg), dari sebelumnya berkisar Rp7.200 per kg.
Melihat permasalahan tersebut, Pengamat Pertanian Bustanul Arifin mengatakan perlu adanya terobosan atau reformasi kebijakan rantai nilai kedelai yang strategis harus segera dirumuskan pemerintah. Dia menyebut, ada empat hal yang bisa dijadikan solusi untuk mengatasi persoalan kedelai.
BACA JUGA: Kemenkeu Pastikan Insentif Tenaga Kesehatan Masih Sama Seperti 2020
Pertama, harus lebih fokus pada produksi produksi kedelai tinggi, tidak harus bersaing head-to-head dengan kedelai impor, yang memiliki efisiensi produksi lebih tinggi dan harga murah. Kedua, produktivitas dan kualitas kedelai domestik menggunakan varietas unggul, yang telah beradaptasi dengan kondisi iklim dan ekosistem pertanian Indonesia.BACA JUGA: Sebut Obat Corona ada di Alquran, Eko Kuntadhi ke UAH: Mas Jangan Tularkan Pikiran Dangkal mu
Kemudian, ketiga, perbaikan sistem insentif ekonomi rantai nilai kedelai, dari sistem produksi di hulu, distribusi, dan perdagangan di tengah, serta jaminan kepastian pasar di hilir. "Terakhir, pengembangan tanaman legum lain sebagai alternatif bahan baku tahu-tempe, misalnya kacang tolo putih, yang lebih adaptif terhadap agro-ekosistem Indonesia,'' ujarnya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (4/2).BACA JUGA: Sepakat Damai, Koperasi BTI Diberi Waktu 6 Bulan Mengembalikan Pinjaman ke LPDB-KUMKM
Menurut dia, sistem produksi kedelai di Indonesia kalah efisien dibandingkan dengan di negara lain seperti Amerika Serikat. "Kalau di sini lahannya kecil-kecil, kalau di Brazil dan Amerika lahannya ratusan hektar, kita susah bersaing. Maka itu ketika pertanyaannya efektif atau tidak (cara Kementan Atasi Krisis Kedelai), kalau dengan pola biasa-biasa sulit. Tapi kalau ada perubahan baik perubahan teknologi maupun cara budidaya yang lebih baik, tentu kita akan lebih baik lagi," paparnya.Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Syailendra sebelumnya menyampaikan, kenaikan harga kedelai di dalam negeri itu dipengaruhi oleh kenaikan harga kedelai di pasar global. Harga kedelai impor di sepanjang Februari 2021 diperkirakan akan berkisar di angka Rp9.500 per kg di tingkat pengrajin tahu dan tempe.
BACA JUGA: PLN Berhasil Atasi Pemadaman Listrik Akibat Cuaca Ekstrem, Imbau Warga Terus Siaga Gangguan
Ia menyebut, dengan kenaikan kedelai impor maka akan kembali terjadi penyesuaian harga tahu dari sebelumnya Rp600 per potong menjadi berkisar Rp650 per potong. Sementara harga tempe yang sebelumnya Rp15.000 per kilogram naik menjadi berkisar Rp16.000 per kilogram.BACA JUGA: Pendiri Pasar Dinar-Dirham Dicokok, Aktivis ProDem: Valas Pakai Dolar Kenapa Gak Ditangkap? Bingung Gue
"Penyesuaian harga tahu dan tempe di pasar merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Sebabnya, mayoritas kebutuhan kedelai Indonesia masih dipenuhi melalui impor dan dipengaruhi pergerakan harga kedelai dunia," ujar Syailendra.Ia menjelaskan, sejak paruh kedua tahun 2020 hingga akhir tahun lalu harga jedelai dunia telah meningkat 30 persen sebelumnya. Hal itu berdampak pada harga tahu dan tempe di pasar yang naik rata-rata 20 persen.
BACA JUGA: Terus Berinovasi Hadirkan Listrik ke Wilayah 3T, PLN Terangi Desa Terpencil Di NTT
Data lembaga pangan dunia (FAO), tercatat hingga akhir 2020 tren impor kedelai pun tak berubah bahkan cenderung terus memburuk sejak Indonesia mengalami defisit kedelai pertama pada 1976 dengan impor 171.192 ton.BACA JUGA: Teddy Gusnaidi ‘Semprot’ AHY: Jangan Cengeng, Partai Politik Bukan Perusahaan Keluarga
FAO mencatat tren impor terus berlanjut tanpa henti. Pada 1986 impor kedelai membengkak menjadi 359.271 ton, lalu menjadi 746.329 ton (1996), 1,13 juta (2006) dan 2,26 juta (2016). Selama 2015-2019, impor sudah konsisten di kisaran 2,2-2,5 juta ton.Sementara itu, FAO mencatat produksi kedelai RI terus turun sejak mencapai titik tertinggi 1,86 juta ton di 1992 menjadi 1,01 juta ton (2000), 907.031 ton (2010). Data Kementan bahkan mencatat hanya 420.000 ton di 2020. (git/din/fin)