Larangan Akses-Unggah Konten FPI Dinilai Perlu Diatur Melalui UU, Bukan Maklumat Kapolri

fin.co.id - 03/01/2021, 15:58 WIB

Larangan Akses-Unggah Konten FPI Dinilai Perlu Diatur Melalui UU, Bukan Maklumat Kapolri

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR) Hidayat Nur Wahid mendukung sikap Dewan Pers beserta sejumlah komunitas pers Indonesia yang mempersoalkan Pasal 2 huruf d Maklumat Kapolri soal larangan masyarakat mengakses hingga menyebarkan konten terkait Front Pembela Islam (FPI).

Ia menilai, larangan tersebut perlu diatur melalui undang-undang (UU), bukan berdasarkan Maklumat Kapolri.

“Namun, yang perlu dipahami adalah pembatasan hak tersebut harus dilakukan melalui undang-undang, bukan berdasarkan Maklumat Kapolri. Apalagi hierarki aturan hukum di Indonesia tidak mengenal istilah 'Maklumat Kapolri',” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (3/1).

Hidayat merujuk kepada ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Lebih lanjut, dirinya menjelaskan ketentuan kebebasan mendapatkan dan mencari informasi itu merupakan hak asasi manusia (HAM) yang bersifat derogable (bisa dibatasi). Dan ketentuan pembatasannya merujuk kepada Pasal 28J ayat (2).

Hidayat turut menilai Maklumat Kapolri tersebut berlebihan apabila diperuntukan untuk membatasi hak asasi yang berdampak negatif untuk kebebasan pers.

Apalagi, sambungnya, hak asasi tersebut juga telah diturunkan ke dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Atas hal itu, dirinya mengakui wajar apabila Dewan Pers dan sejumlah komunitas pers mempertanyakan sekaligus menolak Maklumat Kapolri tersebut.

Sebab dikhawatirkan terdapat pelarangan yang bisa menghalangi kebebasan pers dan publik.

“Apalagi saat ini, sejumlah media sedang aktif memberitakan dan menginvestigasi penembakan 6 anggota FPI, yang menjadi perhatian luas dari publik. Karenanya dikhawatirkan larangan itu akan berdampak kepada pengusutan tuntas dan adil terhadap kasus yang oleh banyak pihak disebut masuk kategori pelanggaran HAM berat tersebut,” ungkapnya.

Meski begitu, Hidayat juga mengapresiasi sikap Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono yang menjelaskan maklumat tersebut tidak untuk bertentangan dengan UU Pers.

Selain itu, konten yang tak boleh diunggah dan diunduh, berdasarkan maklumat, adalah berita bohong, adu domba, SARA, kerusuhan, dan lain-lain terkait FPI.

Namun apabila maksud pencantuman Pasal 2 huruf d dalam maklumat seperti yang dijelaskan Argo, menurutnya, perlu dilakukan perbaikan atau revisi. Pencantuman kalimat "berita bohong", kata dia, juga perlu menyasar hoaks atau fitnah terhadap FPI.

Selain menyasar hoaks, sambung Hidayat, maklumat juga perlu bisa membedakan berita soal FPI yang mengandung unsur kebenaran seperti kegiatan kemanusiaan terkait bencana alam, hingga komitmen mereka terhadap Pancasila dan NKRI.

“Sebaiknya Pasal 2 huruf d Maklumat tersebut segera direvisi atau diperbaiki, agar tidak terjadi bias di lapangan, sehingga berujung kepada kriminalisasi terhadap banyak orang, termasuk para jurnalis yang ingin melaksanakan UU Pers serta hak asasi mereka dan warga negara untuk memperoleh dan mencari informasi berimbang untuk mendapatkan/menyebarkan kebenaran informasi/berita terkait FPI,” pungkasnya. (riz/fin)

Admin
Penulis