JAKARTA - Warga negara Jerman yang mendatangi markas Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu ternyata seorang inteljen. Pemerintah pun diminta harus tegas dan mewaspadai FPI bakal ditunggangi Jerman.
Diungkapkan Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan, warga negara Jerman yang mendatangi Markas FPI bukan seorang diplomat. Dia diduga seorang intelijen.
"Ketika dilakukan penyelidikan langsung ke beberapa sumber kita di Berlin, ternyata dia bukan pegawai pemerintah. Tercatat dia sebagai pegawai BND (Bundesnachrichtendienst). BND merupakan intelijen Jerman," ujar Farhan, Minggu (27/12).
BACA JUGA: Jokowi Harap Lilin Kecil dalam Hati Umat Kristiani Terangi Harapan untuk Pulih dari Pandemi
Dikatakannya, pihak Komisi I telah curiga sejak Kedutaan besar (Kedubes) Jerman. Saat itu Kedubes Jerman tak mengindahkan rekomendasi melakukan persona non grata WN Jerman tersebut. Sebab persona non grata tidak berlaku bagi non-diplomat."Orang ini memang tidak bisa dipersona non grata, tapi akan masuk cekal ya harusnya dicekal. Kita lagi tunggu, kenapa tidak ada pengumuman cekal atau sudah masuk blakclist," katanya.
Ada tujuan tertentu kedatangan inteljen Jerman ke markas FPI. Anggota Komisi III DPR Habiburokhman menduga Jerman tengah menunggangi FPI untuk kepentingan tertentu. Karenanya, FPI diminta waspada.
BACA JUGA: Arus Balik Libur Natal, Jasa Marga Catat 125 Ribu Kendaraan Masuk Jakarta
"Gak mungkin pihak luar itu ada keinginan baik. Gak mungkin sekadar ingin tahu, yang mungkin malah ada tendensi-tendensi memafaatkan situasi untuk kepentingan mereka, bukan keuntungan FPI," ujarnya.Politisi Gerindra ini mengatakan FPI harus berhati-hati dengan pihak asing yang mendukungnya. Hal ini dapat mengancam keamanan Indonesia.
"Ini (melibatkan pihak lain) justru bahaya, bukan hanya (bahaya untuk) FPI dan keluarga korban, ini bahaya untuk negara kita," ujarnya.
BACA JUGA: Dengan Tegas Natalius Pigai Mengaku tak Butuh Ucapan Selamat Natal
Meski demikian, dia yakin Pemerintah Indonesia mampu menyelesaikan sengkarut permasalahan yang melibatkan FPI. Tanpa berkoalisi dengan negara-negar lain."Jangan libatkan orang lain, akan lebih runyam dan kacau pada akhirnya kita sendiri rugi," katanya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menyebut bila benar demikian, maka hubungan Indonesia--Jerman bisa bermasalah. Sebab, kinerja seoorang intel tidak boleh diketahui negara setempat. Dan jika terungkap maka negara yang dimatai-matai harus bertindak tegas.
BACA JUGA: Pembunuh Fa-Lao
"Kegiatan intelijen yang dilakukan suatu negara seharusnya tidak terungkap oleh pemerintah setempat. Bila terungkap, maka negara setempat akan melakukan tindakan yang tegas terhadap negara yang melakukan aktivitas mata-mata. Ini tentu merupakan insiden besar dalam hubungan antara Jerman dan Indonesia," katanya.Dijelaskannya, insiden tersebut tidak bisa hanya diakhiri dengan pemulangan agen intelijen tersebut. Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) tidak cukup hanya memanggil Dubes ad interim Jerman. Tapi bisa melakukan tindakan lebih tegas dengan pengusiran.
"Kemlu tidak seharusnya menerima alasan Dubes ad interim secara naif. Kemenlu harus melakukan protes keras, bila perlu Dubes Jerman diusir (persona non grata) dari Indonesia," tegasnya.
BACA JUGA: Komnas HAM Bakal Minta Keterangan Ahli Terkait Investigasi Penembakan 6 Laskar FPI
Dia meminta Kemlu segera mengambil tindakan tegas. Ia tidak ingin Kemlu di era Presiden Joko Widodo dipersepsikan lebih 'lembek' ketimbang era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)."Di era pemerintahan SBY, saat mata-mata Australia diduga melakukan penyadapan para pejabat tinggi, maka SBY memanggil pulang Dubes Indonesia untuk Australia dan membekukan sejumlah kerja sama Indonesia Australia," sebutnya.
"Ketegasan Kemlu perlu dilakukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan pernah berkompromi terhadap tindakan mata-mata oleh negara asing yang terkuak," lanjutnya.
Pengusiran, menurutnya merupakan jawaban tegas bahwa Indonesia menolak campur tangan asing dalam menyelesaikan permasalahan.