News . 06/11/2020, 08:00 WIB
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi mengumumkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020.
Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan, PMK No. 6 Tahun 2020 berbeda dengan PMK sebelumnya. Adanya aturan baru ini sebagai perbaikan dan penyempurnaan dari PMK sebelumnya.
Penyempurnaan, lanjut Aswanto, antara lain mengenai kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh KPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).
“Ketika dia di posisi Pemohon, dia meminta supaya Pasal 158 tidak dipakai. Kalau dia di posisi Termohon, dia meminta supaya Pasal 158 (UU Pilkada) tetap digunakan. Sehingga yang berkaitan dengan norma dalam undang-undang mestinya kita sudah satu bahasa. Ada pemikiran, yang diatur dalam Pasal 158 berkaitan dengan pokok perkara. Penentuan persentase terkait dengan perolehan suara. Selisih 2 , 1,5, 1 dan 0,5 persen itu akan perolehan suara,” tegas Aswanto.
Itulah sebabnya, kata Aswanto, dalam PMK No. 6 Tahun 2020, Mahkamah tetap konsisten menggunakan Pasal 158 UU Pilkada. Tetapi karena Mahkamah berpikir bahwa Pasal 158 (UU Pilkada) sudah mengatur substansi perkara, sehingga kemungkinan apakah memenuhi persyaratan untuk dimajukan atau tidak dimajukan sebagai sengketa, tidak seperti pada penanganan-penanganan sengketa pilkada sebelumnya.
“Kalau kita tidak mendengarkan keterangan para pihak, langsung menentukan Pasal 158 (UU Pilkada) sebagaimana ditentukan KPU, sebenarnya kita sudah parsial kepada salah satu pihak. Posisi Pemohon, Pihak Terkait berada pada kondisi yang sama. Namun tujuannya untuk mencari kebenaran substantif, bukan sekadar kebenaran formil,” tegas Aswanto dalam keterangan resminya, Kamis (5/11).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berharap benar-benar memahami UU Pilkada, PMK terkait Hukum Acara MK baik teknis maupun mengaplikasikannya agar tidak terjadi kegagapan saat menjalani sidang perselisihan hasil pilkada, permohonan tidak jelas dan kabur, dan sebagainya.
“Terkait perselisihan hasil pilkada, inti persoalannya adalah keputusan KPU termasuk KIP yang terkait dengan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh penyelenggara pemilihan tersebut. Intinya di situ. Ini penting karena nantinya akan menyangkut ke petitumnya. Karena sejatinya obyek perselisihan hasil pilkada adalah keputusan KPU atau KIP,” ungkap Enny.
Selanjutnya ada Pemberi Keterangan yaitu Bawaslu. Setelah itu ada Pihak Terkait selaku pasangan calon kepala daerah yang bisa jadi terusik terhadap penetapan putusan KPU setelah Pemohon mengajukan gugatan karena dikalahkan. Pihak Terkait pun bisa jadi pemantau pemilihan.
“Kelazimannya, Pihak Pemohon, Pihak Termohon dan Pihak Terkait hampir jarang maju sendiri, namun diwakili oleh kuasa hukumnya. Oleh karena surat kuasanya penting sekali yang ditanda tangani oleh yang memberi kuasa dan yang menerima kuasa. Jangan sekali-sekali tanda tangan dipalsukan. Harus asli tanda tangan sendiri, bukan tanda tangan pihak lain,” paparnya.
Dikatakan Enny, permohonan diajukan paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh Termohon.
Permohonan Pemohon sekurang-kurangnya terdiri atas permohonan, fotokopi Surat Keputusan Termohon tentang Penetapan sebagai Pasangan Calon atau akreditasi dari KPU/KIP bagi pemantau pemilihan, fotokopi KTP atau Identitas Pemohon, fotokopi kartu tanda anggota bagi advokat sebagai kuasa hukum.
Permohonan melalui luring maupun daring hanya dapat diajukan satu kali selama tenggang waktu pengajuan permohonan. (khf/fin)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com