JAKARTA - Gotong royong merupakan cermin sila ke-5 Pancasila. Cara ini dinilai ampuh menghilangkan stigma negatif terhadap penyintas COVID-19 di tengah masyarakat.
"Kalau di Indonesia gotong-royong. Lalu berkomitmen mengatasi pandemi bersama. Luruskan mitos yang tidak benar yang beredar di masyarakat,," kata , kata Tim Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan COVID-19, Urip Purwono dalam Talkshow Penguatan Sistem Sosial Penanganan Penyintas COVID-19 di Jakarta, Selasa (20/10).
BACA JUGA: Billy Syahputra Malu Usai Pose Vulgarnya dengan Amanda Manopo Beredar
Stigma dalam sejarah kesehatan selalu muncul mana kala ada epidemi dan pandemi. Seperti Ebola dan MERS. Dua virus tersebut juga menimbulkan stigma di tengah masyarakat."Secara psikologis, hal itu merupakan stereotipe pandangan negatif yang tidak mendasar. Baik dari seseorang atau kelompok. Khusus COVID-19 dari enam dimensi stigma, yang muncul itu yang bahaya. COVID ini dianggap bahaya. Walaupun pasien sembuh, tapi di masyarakat dianggap bahaya. Ini memunculkan stigma negatif dan membuat mereka yang sembuh dijauhi," imbuhnya.
BACA JUGA: Triwulan III 2020, Pertumbuhan Trafik Penumpang Bandara Juanda Capai 175 Persen
Stigma tersebut, lanjut Urip, berbahaya. Sebab, secara psikologis ada kecenderungan masyarakat yang terinfeksi Corona justru menyembunyikan. Padahal seharusnya segera diobati. "Ada dari mereka yang justru mengasingkan diri. Ini malah menambah risiko jika gejalanya berat," paparnya.Sebaliknya, mereka yang tanpa gejala menyembunyikan informasi jika dirinya terinfeksi. Namun tetap beraktivitas seperti biasa. "Tentu saja hal ini membahayakan orang lain. Karena itu, disiplin 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) harus terus dilakukan. Hal ini penting untuk mengedukasi publik," terangnya.
BACA JUGA: Ferdinand ke Ahok: Ayo Perbaiki Pertamina, Tak Perlu Umbar Kalimat Kontroversi
Hal senada disampaikan Ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia (JRPI) Irmansyah. Dia mengatakan yang dikhawatirkan dari stigma itu adalah perilaku lingkungan. Hal ini justru menghambat proses penyembuhan seseorang yang terinfeksi Corona. "Stigma perlu disingkirkan. Karena bisa menghambat proses 3T (testing, tracing, dan treatment)," ucapnya.Menurut Irmansyah, informasi yang akurat terkait penanganan COVID-19 perlu terus dilakukan untuk mengedukasi masyarakat. Terutama menghilangkan stigma. Media harus dapat menjadi sumber informasi yang benar.
Mereka yang terinfeksi COVID-19 perlu dilihat kondisi mentalnya. Bukan hanya deman, batuk dan gejala lainnya yang perlu diperhatikan. Kecemasan dapat muncul karena pasien memiliki kekhawatiran dirinya dalam kondisi fatal. "Yang seperti ini butuh dukungan dan perhatian. Kalau dijauhi masyarakat ya semakin berat kondisi mentalnya. Dukungan lingkungan paling utama," paparnya.(rh/fin)