JAKARTA - DPR RI menyoroti sejumlah Badan Usaha yang dibentuk pemerintah. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Usaha Pengembangan dan Investasi Energi Baru dan Terbarukan (BPI-EBT) dan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menegaskan, perlu adanya titik perbedaan antara BPI-EBT yang dipaparkan oleh Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI). Jika nantinya terealisasi, apa perbedaan dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang selama ini juga bergerak dalam bidang investasi.
Termasuk, letak perbedaan BPI-EBT dengan PLN dalam hal Key Performance Indicator (KPI). “Lantas, apa perbedaan BPI-EBT dengan PLN. Mengingat, PLN juga merupakan suatu badan yang juga selama ini melakukan investasi. Dan juga tentang letak perbedaan signifikan antara BPI-EBT dengan PLN dalam hal KPI-nya," kata Politisi Nasdem ini.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti mengusulkan perlu adanya pembicaraan lanjutan tentang gagasan pembentukan BPI-EBT. Mengingat berdasarkan paparan ASEAN Center of Energy, menurutnya dapat disimpulkan bahwa EBT di masa depan akan sangat futuristik dan optimistis. Namun, di sisi lain masih menjadi pro-kontra di tengah masyarakat.
"Kami mendapat berbagai masukan yang sangat bermanfaat. Pertama, tentang pentingnya sebuah badan yang khusus bergerak dalam lingkup EBT. Karena, masih menjadi pro-kontra apakah badan tersebut betul-betul dibutuhkan. Mengingat, implementasi dari EBT sejauh ini masih tergolong minim," tuturnya.
Menanggapi hal itu, Ketua PJCI Eddie Widiono mengungkapkan bahwa tercatat industri nasional di Pulau Jawa mengkonsumsi 70 miliar kWh. Sementara, EBT yang tersedia hanya 8,5 miliar kWh. Artinya, jauh di bawah rata-rata EBT yang digunakan di dunia untuk industri. Di sisi lain, ada gerakan RE-100 yang seratus persen berniat menggunakan EBT.
"255 perusahaan di dunia dengan konsumsi listrik 235 Miliar kWh terus melesat tumbuh. Gerakan ini akan menghantam industri nasional jika tidak siap dengan EBT. Perkembangan geopolitik itu merupakan alarm bagi Indonesia untuk bertindak extraordinary di bidang EBT. Maka, PJCI mengusulkan pentingnya dibentuk BPI-EBT," papar mantan Dirut PLN tersebut.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto juga mendesak Pemerintah segera terbitkan Perpres pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mulyanto minta Pemerintah agar tertib administrasi dan hukum terkait pembentukan lembaga baru.
"Ini sudah lewat hampir satu tahun sejak BRIN dibentuk tapi sampai hari ini Perpres belum juga terbit. Padahal Pemerintah sendiri yang berjanji bahwa Perpres tentang Kelembagaan BRIN ini akan terbit di akhir tahun 2019. Target itu meleset dan dibuat target baru menjadi akhir Maret 2020. Tapi sampai sekarang belum juga muncul," jelas Mulyanto.
Ia mengingatkan Pemerintah, bahwa Perpres BRIN itu merupakan amanah UU No. 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Iptek. Dalam Pasal 48 ayat (1) disebutkan untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.
"Ini tidak lazim. RAPBN tahun 2021 untuk Kemenristek/BRIN sudah disetujui Komisi VII DPR RI. Artinya rencana anggarannya sudah tersedia tapi justru kelembagaan dan SDM-nya yang belum jelas,” tegasnya.
Ia melanjutkan, para peneliti senior banyak yang bertanya, apakah karena terkait klausul Dewan Pengarah BRIN yang ex-officio dari Ketua atau anggota Dewan Pengarah BPIP. Sehingga Perpres kelembagaan BRIN, sampai hari ini masih terkatung-katung. Muncul keresahan mengenai ketidakjelasan eksistensi lembaga litbang mereka di masa depan.
Mulyanto menambahkan keterlambatan ini mencerminkan Pemerintah tidak serius mengembangkan inovasi nasional, baik dari aspek pendanaan maupun kelembagaannya. Padahal kepada masyarakat Pemerintah selalu mengatakan akan mengembangkan inovasi sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional.
“Pemerintah semestinya segera membentuk BRIN ini, agar roda pembangunan riset dan inovasi nasional berputar cepat, bukan malah menelantarkannya,” desak Mulyanto.
Seperti diketahui, sebagaimana amanat UU. No. 11/2019 tentang Sisnas Iptek, Pemerintah bermaksud menggabungkan seluruh lembaga litbang dalam lingkup Kemenristek menjadi satu lembaga terintegrasi dari invensi sampai inovasi, yakni BRIN. Namun tidak sedikit peneliti yang menolaknya. Begitu juga struktur BRIN yang dikabarkan memiliki Dewan Pengarah, yang secara ex-officio dijabat oleh ketua atau anggota Dewan Pengarah dari BPIP. (khf/fin)