News . 23/09/2020, 12:00 WIB
JAKARTA - Pelibatan TNI dalam menanggulangi atau memberantas terorisme merupakan langkah tepat. Hal tersebut sudah sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana Madya TNI Amarulla Octavian menegaskan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah tepat. Ini sesuai dengan UU No 5 Tahun 2018 tentang Amandemen Undang-undang RI No 15 Tahun 2003 pada Pasal 43I Ayat (1) tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Meski demikian, pada pelaksanaann keamanan nasional disebutkan dalam Undang-undang penanganan terorisme ditangani oleh Polri dan TNI. Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Sementara TNI ada UU Nomor 17 Tahun 1985, UU Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Nomor 5 Tahun 2018.
Perang melawan terorisme, tidak lagi hanya mengandalkan aktor-aktor penyelenggara keamanan nasional semata. Tapi juga harus melibatkan banyak lembaga negara dan semua institusi pemerintah lainnya.
"Harus juga membangun kerja sama lintasnegara dalam bentuk keamanan dengan semua negara dan organisasi internasional di dunia dalam menangani terorisme," ujarnya.
Dijelaskannya, dalam perspektif TNI, aksi teror adalah sebagai salah satu bentuk OMSP dalam menghadapi peperangan asimetris dengan empat kriteria.
Pertama, korban atau sasaran teror adalah pejabat negara, institusi sipil dan militer yang menjadi simbol negara.
Kemudian, yang ketiga menurutnya adalah lokasi aksi terorisme itu sendiri, apakah di lautan dan udara Indonesia.
Dan terakhir terjadi di kapal atau pesawat registrasi internasional berbendera Indonesia atau negara lain.
"Jika suatu aksi teror terindikasi memenuhi salah satu atau lebih empat kriteria tersebut, maka TNI sah demi hukum untuk bertindak mengatasinya," ucapnya.
Seperti di Amerika Serikat yang memiliki kekuatan militer dalam menghadapi terorisme. Kekuatan militer tersebut di antaranya US Navy Seal dan US Delta Force. Keduanya pun punya aturan main dan Undang-undang tersendiri, tetapi berkomitmen bagaimana untuk bekerja sama.
"Jadi di Amerika Serikat itu sebenarnya pasukan antiterornya itu lebih dari enam, tetapi demikian, mereka tidak melihat tumpang tindih kewenangan itu sebagai hal yang negatif. Tumpang tindih kewenangan dilihat positif bagaimana mereka bisa bekerja sama satu dengan yang lainnya, dengan kepolisian, FBI, CIA dan sebagainya," paparnya.
"Ini adalah contoh-contoh pasukan di dunia yang mereka sangat terintegrasi dengan sistem keamanan nasional negara masing-masing," jelas dia.
Untuk Indonesia, lanjut Octavian, terdapat satuan antiteror seperti Satgultor Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, Den Bravo Korpaskhas TNI AU, Densus 88 Polri, lalu Koopsus TNI.
"Jadi, kesan adanya tumbang tindih kewenangan terkait penanganan terorisme harus dilihat dari perspektif positif," ujarnya.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com