JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memeriksa mantan Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin dan eks Kabiro Hukum Kementerian BUMN Hambra. Keduanya diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi kegiatan pemasaran dan penjualan di PT Dirgantara Indonesia (Persero) tahun anggaran 2007 hingga 2017 untuk melengkapi berkas perkara mantan Direktur Utama PT DI Budi Santoso.
Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, penyidik mendalami keterangan Mahmuddin dan Hambra mengenai kewenangan Kementerian BUMN dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT DI untuk pengesahan dokumen bagi mitra penjualan PT DI.
"Penyidik mengonfirmasi keterangan kedua saksi tersebut mengenai kewenangan kementerian BUMN dalam RUPS untuk pengesahan dokumen bagi mitra penjualan di PT DI," ujar Ali saat dikonfirmasi, Senin (14/9).
Mahmuddin ogah berkomentar banyak saat ditemui awak media usai pemeriksaan berlangsung. Ia menyerahkan penjelasan menyangkut materi pemeriksaan kepada Hambra.
"Ke Pak Biro Hukum (Hambra)," kata Mahmuddin di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta.
Hambra lantas menjelaskan mengenai materi pemeriksaan yang telah dijalaninya. Ia mengaku dicecar mengenai prosedur RUPS di PT DI. Ia mengklaim hanya menjelaskan prosedur hukum di PT DI.
"Prosedur RUPS. Kita hanya menjelaskan mengenai prosedur hukum, karena kita tidak terlibat di situ, jadi kita nggak tahu tentang fakta," terang Hambra.
Hambra mengaku tak mengetahui mengenai mekanisme pemasaran di PT DI. Menurutnya, hal tersebut merupakan kewenangan internal PT DI.
"Itu kan internal perusahaan. Jadi prosedurnya kementerian tidak tahu," katanya.
Hambra juga mengklaim tidak tahu menahu mengenai adanya sejumlah dana kickbak yang mengalir ke direksi PT DI maupun pihak lain yang saat ini sedang diusut KPK. Hambra menyebut, saat korupsi ini terjadi belum menjabat sebagai Kabiro Hukum Kementerian BUMN.
"Tidak tahu (dana kickback), tidak ada sama sekali pembicaraan itu dan tidak tahu apa-apa juga. Karena itu semua terjadi sebelum kita jadi Kepala Biro Hukum," ungkapnya.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Susanto dan mantan Asisten Direktur Bidang Bisnis Pemerintah PT DI Irzal Rinaldi Zailani. Budi dan Irzal bersama-sama dengan para pihak lain pada 2008 diduga melakukan kegiatan pemasaran penjualan di bidang bisnis di PT DI.
Pada awal 2008, tersangka Budi Santoso dan Irzal bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, dan Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan, diduga mengadakan pertemuan. Mereka diduga membahas kebutuhan dana PT DI untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya, termasuk biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya tersangka Budi Santoso diduga mengarahkan agar tetap membuat kontrak kerja sama mitra/keagenan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. Namun sebelum dilaksanakan, tersangka Budi Santoso diduga meminta agar melaporkan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemegang saham yaitu Kementerian BUMN.
Budi diduga memerintahkan Irzal dan Arie Wibowo menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan. Kemudian Irzal menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen.