JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung menggelar ekspos atau gelar perkara Joko Tjandra cs bersama Polri dan Kejaksaan Agung. Ada dua perkara yang diekspos hari ini. Masing-masing dugaan gratifikasi penghapusan red notice yang ditangani Bareskrim Polri, serta dugaan suap pengurusan fatwa bebas ke Mahkamah Agung yang ditangani Kejaksaan Agung.
Gelar perkara yang dilakukan secara terpisah itu dihadiri oleh Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djoko Poerwanto dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, gelar perkara dilakukan sebagai upaya koordinasi dan supervisi lembaga antirasuah dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Ia menambahkan, hal ini juga dilakukan untuk melihat penggambaran secara utuh dari rentetan kasus tersebut.
"Kami tadi dalam rangka koordinasi dan supervisi ingin memastikan, jangan sampai satu perkara yang besar itu dilihat per bagian-bagian atau klaster-klaster. Kita ingin melihat Joko Tjandra menyuap jaksa, menyuap pejabat kepolisian, ini tujuannya apa. Ini yang sebetulnya tujuan dari pada kegiatan koordinasi supervisi yang dilakukan KPK," ujar Alexander di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (11/9).
Ia pun menerangkan, pihaknya belum bisa memastikan akan mengambil alih kasus tersebut. Namun, ia menegaskan, proses pengambilalihan dapat dilakukan sepanjang syarat yang ditentukan oleh UU KPK telah terpenuhi.
Misalnya, kata dia, penanganan perkara terindikasi dilakukan secara berlarut-larut. Kemudian, sambungnya, ada indikasi upaya melindungi pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, diterangkan Alexander, saat ini KPK masih akan memaksimalkan koordinasi dan supervisi yang tengah dilakukan.
"Manakala KPK melihat ada pihak-pihak terkait yang mungkin belum diungkap di Bareskrim atau kejaksaan, kita akan dorong. Kita akan mendorong kawan-kawan di Bareskrim atau kejaksaan kalau memang cukup alat buktinya," tukas dia.
Terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, kasus dugaan suap yang dilakukan Joko Tjandra, baik yang ditangani oleh Polri maupun Kejaksaan Agung, bermuara pada satu perbuatan. Maka dari itu, kata dia, ekspos perlu dilakukan agar terdapat keutuhan dalam penyelesaian perkara tersebut.
"Supaya ada akselarasi percepatan, dan supaya baik dilakukan oleh Mabes Polri maupun Kejagung maupun KPK, bersinergi dan memiliki kesatuan atau persamaan perlakuan di hadapan hukum. Itu yang kami laksanakan," kata Ghufron.
Ghufron menjelaskan alasan pihaknya melakukan gelar perkara skandal Joko Tjandra bersama Polri dan Kejagung secara terpisah. Dikatakan, hal ini semata agar pihaknya fokus melihat perkembangan penanganan perkara yang dilakukan Polri maupun Kejaksaan. Tak tertutup kemungkinan gelar perkara berikutnya akan dilakukan secara bersama-sama.
Apalagi, KPK meyakini kasus dugaan suap penghapusan red notice yang menjerat mantan Kadiv Hubinter Irjen Napoleon Bonaparte yang ditangani Bareskrim Polri terkait dengan kasus dugaan suap pengurusan PK dan permintaan fatwa dengan tersangka Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang ditangani Kejaksaan Agung.
"Kenapa dipisah, ya karena memang untuk memberikan kefokusan, ya kami pisah dulu. Kalau penyatuannya, nanti kami gelar bersama," katanya.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djoko Poerwanto menyampaikan perkembangan penanganan kasus Joko Tjandra. Menurut dia, berkas perkara dugaan suap penghapusan red notice kini telah dilakukan pelimpahan tahap I. Namun, berkas tersebut belum dinyatakan lengkap sehingga dikembalikan oleh kejaksaan atau P-19.
"Berkas perkara yang kita kirimkan di tahap I belum dinyatakan lengkap. Maka tindak lanjutnya adalah petunjuk secara formil dan materil, di mana di P-19, kami baru terima tanggal 11 (September), hari ini kami akan pelajari," ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Ali Mukartono menyatakan, pihaknya menerima banyak masukan dari KPK dalam gelar perkara tersebut. Ia pun memastikan masukan tersebut bakal menjadi catatan tersendiri bagi Kejaksaan Agung dalam menangani perkara dugaan suap pengurusan fatwa di Mahkamah Agung.