Nilai Jual Buruh di Pilkada 2020

fin.co.id - 21/08/2020, 10:30 WIB

Nilai Jual Buruh di Pilkada 2020

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Banyaknya suara buruh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, dianggap memiliki keistimewaan. Alasannya, banyak tuntutan buruh yang selama ini belum terealisasi. Sejumlah kalangan menilai, hal tersebut bisa dijadikan kontrak politik kepada kandidat.

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, menyatakan kalangan buruh memiliki masalah klasik berupa tuntutan yang belum sepenuhnya terpenuhi. Melalui berbagai organisasi buruh, sebenarnya saluran politik yang dimiliki bisa disampaikan.

“Persoalan yang besar, organisasi yang punya induknya ini punya kekuatan pressure. Seperti membahas RUU Cipta Kerja. Kelompok buruh ini melakukan demontrasi besar-besaran. Sehingga pemerintah mencoba menunda kluster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker,” kata Saleh di Jakarta, Kamis (20/8).

BACA JUGA:  Begini Cara Cek Apakah Namamu Terdaftar sebagai Penerima BLT Rp 600 Ribu

Namun, presure yang dimiliki kalangan buruh dan pekerja ini tak dimanfaatkan secara maksimal. Sehingga ketika negara dihadapkan pada situasi pandemi COVID -19, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana. Untuk itu, momentum Pilkada ini harus menjadi refleksi kalangan buruh untuk menggalang kekuatan politiknya. “Ke depan, perlu ada kontrak politik antara calon kepala daerah dengan buruh. Tujuannya agar menjaga kesejahteraan buruh di daerahnya,” imbuh Saleh.

Sekjen KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia) Dedi Hardianto mengatakan, peran buruh sangat penting dalam menentukan arah bangsa. Hal ini terbukti, pada saat Presiden Soekarno, menyatakan buruh memiliki peran dominan. Seperti gerakan trimurti. Saat itu buruh mendapat perhatian penuh.

Tetapi, hal itu jauh berbeda saat Orde Baru berkuasa. Buruh dikotak-kotakan. Sehingga kekuatan buruh mudah dipantau penguasa. Di sisi lain, suara dan tuntutan buruh seakan tak digubris.

Dedi melihat, momentum politik nasional maupun daerah harus menjadi pendorong kaum buruh untuk bersatu. Apalagi, kepala daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat memiliki peran strategis dalam memperjuangkan hak buruh. “Suara buruh ini akan signifikan di tahun politik dan efektif kalau tokoh buruh ini punya basis kuat dan membumi,” ucap Dedi.

Sementara itu, Ketua DPP Partai NasDem nonaktif, Irma Suryani Chaniago melihat sikap buruh tampak tidak solid. Aktivis buruh ini menilai, banyak pemimpin organisasi buruh yang bersikap pragmatis dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Akibatnya setiap momentum kontestasi politik daerah, para buruh justru tak mendapatkan apa-apa.

Dia ini memandang, komitmen kelompok buruh saat pilkada, tidak punya dampak positif terhadap calon yang didukung. “Masih ada ketidakselarasan antara tokoh buruh dengan basis kelompok buruh. Sehingga tidak ada bargaining position yang efektif terhadap pemerintah yang ada,” tutur Komisaris Independen Pelindo I ini.

Dia menyarankan agar bargaining posisi kelompok buruh harus jelas. Setidaknya, calon yang didukung kelompok buruh harus mampu membuat regulasi yang selaras dengan kepentingan para buruh. (khf/fin/rh)

Admin
Penulis