News . 30/07/2020, 19:02 WIB

PK Jaksa Atas Djoko Tjandra Cacat Hukum

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menegaskan upaya peninjauan kembali (PK) yang dilakukan kejaksaan tidak boleh mewakili kepentingnya. Namun hanya untuk kepentingan korban, terdakwa, atau terpidana. Jika dipaksakan maka upaya tersebut dipastikan cacat hukum.

Penegasan ini disampaikan Mudzakir mengomentari PK yang dilakukan JPU atas perkara Cessie Bank Bali, Djoko Tjandra yang telah divonis bebas oleh PN Jakarta Selatan dan dimenangkan di tingkat Kasasi Mahkamah Agung (MA).

“Kesempatan akhir PK itu adanya pada milik terdakwa atau terpidana. Mengacu pada KUHAPidana jika jaksa mengajukan PK untuk kepentingannya maka langkah tersebut tentu cacat hukum,” tukas salah satu perumus Rancangan KUHPidana ini, Kamis (30/7).

Dijelaskan Mudzakir, dalam proses penanganan perkara di pengadilan, jaksa dalam hal ini JPU (jaksa penuntut umum) menurutnya telah diberi kesempatan membuktikan dakwaannya mulai dari tingkat pertama (pengadilan negeri) hingga MA. Jika dalam proses tersebut JPU tidak dapat membuktikan dalilnya sebagaimana didakwakan maka upaya JPU berhenti sampai di situ.

“Azas prinsipnya tidak boleh PK karena jaksa sudah diberikan kesempatan dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung,” tukas Mudzakir.

Menurutnya, jaksa mengajukan PK memang presedennya pernah terjadi. Namun upaya PK itu untuk kepentingan korban, terdakwa atau terpidana. Artinya JPU mengajukan PK karena ada putusan yang melupakan hak dan kepentingan korban.

“Itu (PK) bisa dilakukan jaksa untuk kepentingan korban. Maka dengan PK itu putusan pengadilan akan diluruskan kembali agar sesuai dengan prinsip on the track keadilan dalam rangka pengambilan keputusan,” tuturnya.

“Sebaliknya jika alasan PK menguntungkan kepentingan jaksa maka itu tidak bisa,” imbuhnya.

Dicontohkannya perkara mantan Danjen Kopasus Muchdi PR yang mana jaksa melakukan upaya PK alasannya demi kepentingan korban.

Oleh karenanya, ruang kewenangan bagi jaksa mengajukan PK tidak dibuka bagi jika bertujuan memberatkan terdakwa, atau terpidana terkecuali bermaksud meringankan terdakwa atas kesalahan jaksa sehingga perlu diluruskan kembali agar supaya pengadilan mengubah hukuman yang tepat dan menguntungkan terdakwa.

Merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP, kata Mudzakir bermakna bahwa Jaksa dilarang mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Yang kedua hak PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya, sehingga tidak ada dasar hukum bahwa jaksa mengajukan PK.

Namun dua hal tersebut dilanggar oleh Jaksa. Yang terjadi, PK oleh JPU diterima dan dikabulkan Mahkamah Agung dengan putusan 12 PK/Pid.Sus/2009 11 Juni 2009 lalu. Amar putusan Peninjauan Kembali itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.

Seperti diketahui, dalam kasus cessie Bank Bali, PN Jakarta Selatan lewat putusan no. 156/Pid.B/2000/PN Jak.Sel melapaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging) alias bebas murni.

Bahkan putusan tersebut diperkuat dengan putusan Mahkah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 dengan amar putusan “menolak permohonan kasasi dari JPU pada Kejari Jakarta Selatan”.(gw/fin)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com