JAKARTA - Kasus perkawinan anak yang terjadi di Pinrang, Sulawesi Selatan, dan Banyuwangi, Jawa Timur, baru-baru ini, menjadi kado pahit Peringatan Hari Anak Nasional.
Anak-anak yang sehat lahir bathin, cerdas dan berakhlak, serta berkarakter merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, mari kita jaga dan penuhi hak-hak anak. Demikian pesan yang disampaikan oleh Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, dalam Diskusi Publik Pendidikan Kesadaran Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak, melalui virtual zoom pada Jumat (24/7).
Lebih lanjut, Bintang Puspayoga mengungkapkan, saat ini terdapat 1 dari 9 anak perempuan Indonesia yang berusia 20 sampai 20 tahun, telah menikah ketika berusia di bawah 18 tahun. "Ini berarti, 11 persen. Dengan jumlah tersebut, menempatkan Indonesia negara ketujuh di dunia dan nomor dua di ASEAN, dalam hal terbanyak perkawinan anaknya. Ini sungguh memprihatinkan. Karena pernikahan anak itu bertentangan dengan UUD 1945, UU no.23 tahun 2002, UU no.35 tahun 2014, dan ratifikasi konvensi hak anak," tegasnya.
BACA JUGA: Pelaksanaan Resepsi Pernikahan dengan Protokol Kesehatan
Dikatakan Bintang, banyak faktor yang menyebabkan perkawinan anak. Antara lain, karena faktor ekonomi dan kemiskinan, faktor budaya, ketidaksetaraan gender, perilaku remaja di era globalisasi, dan regulasi."Terkait regulasi, pemerintah sudah merivisi UU No.1 Tahun 1974, di mana usia minimal anak perempuan menikah adalah 16 tahun, direvisi menjadi minimal 19 tahun. Namun demikian, implementasi dari revisi undang-undang tersebut, yang belum sepenuhnya dapat dijalankan. Karena itu, perlu aturan-aturan pendukung, dan saat ini kementerian PPPA sedang menyiapkan Permen tentang perkawina anak ini," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, Presiden Jokowi telah menargetkan Kementerian PPPA untuk menurunkan angka perkawinan anak dari 11.21% menjadi 8%. Berbagai upaya pun dilakukan. Antara lain; dengan menyusun Perda/Kebijakan hingga tingkat desa, menyusun rencana aksi daerah dengan membentuk relawan pencegahan perkawinan anak, dan menetapkan dalam Renstra daerah.
Mengapa pencegahan terhadap perkawinan anak harus digalakkan? "Karena berdasarkan penelitian WHO, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia di bawah 20 tahun berpotensi besar mengalami kelahiran prematur, kurang berat badan, dan komplikasi gangguan kesehatan. Sedangkan ibu yang sudah hamil pada usia di bawah 20 tahun, seringkali tidak siap punya anak, menghadapi tekanan mental yang bisa menyebabkan depresi dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya.
Perkawinan anak merupakan masalah sosial yang masif dan telah memasuki tahap darurat. Ironisnya, praktik perkawinan anak ini masih diterima masyarakat, masih dianggap biasa, bahkan dibenarkan atau dianggap sebagai solusi atas masalah kemiskinan.
Atas hal tersebut, maka Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Institut KAPAL Perempuan menyelenggarakan diskusi publik ini.
"Urgensi penegakan hukum bagi penanganan masalah perkawinan anak di Indonesia. Harus ada pembelajaran. Harus ada penegakan hukum yang membuat jera pelaku perkawinan anak," pinta Sumairoh, aktivis gender dari NTB.
"Saya minta agar para stakeholder saling bekerjasama. Kemendikbud, BKKBN, Kemenkes, Kemenag, Kemenkumham dan tokoh masyarakat. Bersama-sama mengimplementasikan UU No.19 ini," kata Zumrotin, yang sejak tahun 2010 sudah melakukan kampanye pencegahan perkawinan anak di Jawa Tengah dan sekitarnya. (mif)