JAKARTA - Krisis pangan sudah di depan mata. Sejak lama, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengingatkan hal itu. Salah satu langkah yang harus dilakukan pemerintah, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merekomendasikan pemerintah agar menggenjot perdagangan antara negara demi ketahanan pangan nasional tetap terjaga.
Kepala Riset CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, memang tidak mudah untuk mengantisipasi krisis pangan yang akan melanda Indonesia. Meski begitu, ia mendesak pemerintah untuk serius mengantisipasi hal tersebut. Apalagi, laporan Global Hunger Index 2019, Indonesia saat ini masih berjuang melawan kelaparan pada tingkat 'serius'.
Ditambah lagi, pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya kinerja perdagangan dan investasi internasional. Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO) memperkirakan, perdagangan internasional menyusut 13 persen hingga 32 persen. Sementara, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) juga memperkirakan aliran investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) turun di kisaran 30 persen hingga 40 persen pada 2020. "Salah satu yang terpengaruh adalah pangan dan pertanian yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan," ungkapnya dalam keterangan persnya, kemarin (15/7).
Menurutnya, Kekurangan pangan atau inflasi pangan akan membahayakan penduduk, terutama kaum miskin yang rentan yang bahkan pada hari-hari biasa dapat menghabiskan hingga 60 persen dari pendapatan untuk makanan. "Untuk itu pemerintah Indonesia harus bekerja sama dan memastikan bahwa perdagangan pangan global dapat tetap berjalan. Misalnya, dengan menurunkan hambatan perdagangan untuk mengimpor bahan pangan," ucapnya.
Di sisi lain, lanjut dia, dengan menurunkan hambatan perdagangan juga dapat membantu Indonesia mendiversifikasi negara tujuan impor untuk melakukan perlindungan nilai atas risiko perdagangannya jika negara lain memutuskan untuk menutup ekspor mereka. "Tapi yang penting juga perdagangan tidak boleh mengabaikan berbagai protokol terkait kesehatan dan keselamatan untuk memastikan keselamatan pekerja yang terlibat di dalamnya," tuturnya.
Terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) University Edi Santosa mengatakan, untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri, pemerintah perlu memperkuat kebijakan diversifikasi pangan. Sebab berkepanjangannya pandemi Covid-19 membuat beberapa negara pengekspor pangan membatasi kegiatan ekspor pertaniannya demi menjaga ketahanan pangan domestik. "Jadi, perlu diversifikasi pangan. Masyarakat tidak hanya terpaku pada satu jenis makanan pokok saja, akan tetapi bisa mengonsumsi bahan pangan lainnya sebagai pengganti makanan pokok yang selama ini dikonsumsinya," katanya.
Selain itu, katanya, keuntungan diversifikasi pangan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor. Oleh karena itu, saat ini diversifikasi pangan dimulai dari jumlah makanan yang disajikan di atas meja makan. Ia menyebutkan, keluarga Indonesia dalam satu meja makan ada sembilan sampai 12 jenis makanan yang rata-rata didominasi oleh karbohidrat. "Di luar negeri bisa sampai 40 jenis. Misalkan, di Jepang makan nasi satu mangkok, tetapi didampingi olahan makanan lain seperti lobak, talas, ubi, dan lain-lain. Jadi keluarga Indonesia sudah mulai diversifikasi pangan," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo telah menyiapkan beberapa strategi guna mengantisipasi krisis pangan yang terjadi di Indonesia. Langkah tersebut di antaranya mempercepat masa tanam, mengembangkan lahan rawa di Kalimantan Tengah seluas 164.598 hektare, serta pemulihan dan pembangunan sektor pertanian yang lebih maju, mandiri dan modern. (din/fin)