JAKARTA - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengajak semua pihak agar tidak terpancing dengan dikotomi, pro dan kontra, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sehingga mengalihkan dari substansinya.
Ia juga meminta RUU PKS jangan ditarik dalam bingkai moralitas, karena akan semakin merugikan perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan.
“Jangan terpancing pada dikotomi RUU PKS yang berakibat sangat merugikan perempuan korban kekerasan seksual,” kata Andy kepada peserta diskusi Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual secara Serius (13/7).
Berkaca pada upaya pengesahan UU Pornografi yang juga terbelah dan mengedepankan moralitas, sambung Andy, penerapannya justru kerap mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual.
BACA JUGA: Hyper Scape, Game Battle Royale Baru dari Ubisoft
Untuk itu, dengan dikeluarkannya RUU PKS dari prolegnas prioritas DPR tahun 2020, Andy menegaskan Komnas Perempuan akan terus membuka diskusi, terutama secara virtual yang bisa menjangkau publik hingga ke daerah-daerah. Hal ini untuk memastikan semua pihak fokus pada kepentingan korban kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun jumlah kasusnya terus meningkat, menurut data Komnas Perempuan.Sebelumnya, pada Kamis (30/6) Komisi VIII DPR RI menarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020. Alasannya, waktu yang terbatas. DPR menyebut tidak ada cukup waktu bagi Komisi VIII menyelesaikan pembahasan RUU PKS tahun ini. Pada Kamis (2/7), pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati pencabutan RUU PKS dalam Rapat Evaluasi Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDIP, Diah Pitaloka mendesak pembahasan RUU PKS tetap dilanjutkan. Menurutnya, tidak adanya landasan hukum membuat perlindungan, membuat korban pelecehan seksual semakin sulit. Sebab, korban tidak mendapat jaminan perlindungan.
“Tanpa ada jaminan hukum yang kuat, korban pelecehan cenderung sulit melapor. Karena bisa saja, kembali menjadi korban pelecehan tanpa ada perlindungan,” tegas Diah di Jakarta, Senin (6/7) lalu.
BACA JUGA: Ada Kejanggalan, Tersangka Kasus Bank Swadesi Minta Perlindungan Propam Polri
Tanpa produk legislasi khusus yang membahas perlindungan terhadap korban pelecehan seksual, akan membuat pelaku kekerasan tidak takut terhadap hukum.Diah mencontohkan kasus pemerkosaan yang dilakukan Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPTPPA) di Lampung Timur. Pahadal, keluarga sengaja menitipkan korban ke lembaga pemerintah untuk mendapatkan perlindungan dan pendampingan.
Kasus pemerkosaan di Lampung Timur menunjukkan pentingnya landasan hukum bagi korban kekerasan seksual. Karena, pelaku pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja.
Keputusan DPR yang sangat mengecewakan ini direspon Komnas Perempuan dengan menggelar diskusi bersama Kantor Staf Presiden (KSP) untuk memastikan pemerintah proaktif mengawal agar DPR lebih serius segera mengesahkan RUU PKS.
Karena itu, pemerintah bersama jaringan masyarakat sipil bisa mengajak kaukus perempuan di DPR yang terdiri dari wakil rakyat perempuan yang tersebar di seluruh fraksi dan komisi agar dalam perumusan dan pembahasan RUU PKS berperspektif keadilan gender.
BACA JUGA: Wanita Video Call Sambil Mandi, Program Uya Kuya Ditegur KPI
Dengan belum adanya kepastian hukum bagi pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan seksual serta pemulihan dan pemenuhan keadilan hak-hak korban, tidak ada alasan bagi DPR menunda pengesahan RUU PKS.“Payung hukum ini terobosan yang secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya,” tegas Andy dalam diskusi yang dimoderatori Yuni Pulungan yang mewakili Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) sebagai penyelenggara webinar. Kegiatan ini kerjasama SEJUK dengan Intermews.
Sementara, Ahli Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin tidak menampik kemendesakan RUU PKS. Namun begitu, pemerintah ingin agar pembahasan RUU PKS ditempuh proses harmonisasi dan sinkronisasi dengan aturan lainnya, seperti RKUHP yang sedang digodok DPR.
Delik kesusilaan yang absurd dan sanksi ringan bagi pelaku dalam aturan-aturan yang sudah ada, menurut Siti Ruhaini, harus didorong agar semangatnya sama dengan RUU PKS yang melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual.
“Pemerintah dan masyarakat sipil ada dalam satu kata yang sama, terus mengawal RUU ini,” ujar mantan Komisioner HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).