JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) sangat tinggi di zona merah kasus COVID-19. Hal ini patut diwaspadai masyarakat, karena angka kematian dalam kasus DBD juga tinggi.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan berdasarkan data Kemenkes, daerah dengan angka COVID-19 tinggi ditandai jumlah kasus DBD yang tinggi pula. Karenanya pasien COVID-19 sangat berisiko terinfeksi DBD pula.
"Karena pada prinsipnya sama, DBD adalah penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya dan vaksinnya belum terlalu efektif," katanya di Graha BNPB Jakarta, Senin (22/6).
Dibeberkannya, provinsi-provinsi yang jumlah kasus COVID-19 tinggi diikuti kasus DBD yang tinggi pula, di antaranya Jawa Barat, Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan. Lebih rinci, dia menyebut dari 460 kabupaten dan kota yang melaporkan adanya kasus DBD, sebanyak 439 di antaranya juga melaporkan adanya kasus COVID-19.
"Fenomena yang terjadi ini artinya memungkinkan seseorang kalau sudah terinfeksi COVID-19 dia juga dapat berisiko untuk terinfeksi demam berdarah. Jadi ini ada infeksi ganda," katanya.
Berdasarkan data Kemenkes, sejak awal 2020 hingga 21 Juni, jumlas kasus DBD totalnya mencapai 68.753 kasus. Sementara jumlah yang meninggal akibat DBD sebanyak 446 orang. Angka kematian tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat dengan 87 pasien meninggal.
Dikatakan, Nadia, angka tersebut terus bergerak naik. Ini sangat berbeda dengan tahun sebelumnya, yang puncak DBD terjadi di bulan Maret. Dia menyebut penambahan kasus baru cukup tinggi terjadi hingga bulan Juni.
“Sampai Juni kami masih menemukan kasus DBD cukup banyak. Kami menemukan antara 100 sampai 500 kaus per hari,” ungkapnya.
Kemenkes mencatat DBD awal diketahui berada di Indonesia pada tahun 1968. Saat ini, angka kesakitan maupun kematiannya mencapai 50 persen. Sekarang, angka tersebut sudah berhasil diturunkan. Angka kematian bahkan berkurang hingga di bawah 1 persen, dan ditargetkan tidak ada lagi kematian.
Sementara angka kesakitan masih fluktuatif. Indonesia pernah mengalami kejadian luar biasa DBD di tahun 2016 dengan angka kesakitan mencapai 80.000.
“Tadinya kita bisa turunkan di bawah 20 persen, dan saat ini harus terus dipertahankan. Jangan kejadian di 2016 terulang lagi,” kata Nadia.
Diakuinya, dalam situasi pandemi COVID-19, pihaknya menemui tiga kendala dalam memberantas sarang nyamuk aedes aegypti.
Kendala pertama, kegiatan juru pemantau jentik tidak bisa optimal. Sebab adanya kebijakan menjaga jarak fisik.
Kedua, bangunan-bangunan di antaranya sekolah, perkantoran, hotel, rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya selama beberapa bulan terakhir banyak yang kosong sehingga berpotensi menjadi tempat nyamuk berkembang biak.
"Dan ketiga karena masyarakat banyak berada di rumah sehingga perlu kita melakukan pemberantasan sarang nyamuk," ujarnya.