News . 13/05/2020, 00:00 WIB
JAKARTA — Jumlah kasus positif virus corona di Indonesia terus bertambah. Terhitung hingga Rabu, 13 Mei, ada 15.438 kasus positif ditemukan di seluruh Indonesia. Hari ini, ada 689 kasus positif baru yang menjadi rekor sejak COVID-19 ditemukan di negeri ini.
Situasi ini memantik kritik pedas terhadap Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Presiden dianggap sudah membuat banyak kesalahan dalam membuat kebijakan antar lembaga Kementerian yang justru membingungkan masyarakat.
Selain itu, ada kesan Jokowi pelit memberi kewenangan kepada Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Sebagai wapres, Ma’ruf Amin memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam bidang kesejahteraan rakyat, termasuk pendidikan, keagamaan, sosial, kebencanaan, serta pariwisata. Selain wapres memiliki kewenangan dalam hal monitoring kelembagaan seluruh kementerian selain sebagai wakil ketua tim penilai akhir (TPA). Makanya, yang seharusnya menjadi komandan dalam perang melawan pandemi COVID-19 ini adalah wakil presiden.
Pengamat Politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto menegaskan, dalam situasi pandemi COVID-19 seperti saat ini, muncul kesan bahwa distribusi peran antara presiden dan wapres sama sekali tidak ada.
Sebaliknya, muncul sosok-sosok lain di luar lembaga kepresidenan, seperti menteri-menteri yang kadang bertindak overacting. Dalam kondisi genting seperti sekarang, Ma’ruf Amin harus memberi nasihat ke Jokowi agar jalannya pemerintahan tak semakin melenceng.
“Saya melihat penanganan bencana yang dilakukan pemerintah memang kurang melibatkan wapres dalam pelaksanaannya. Sehingga kesan distribusi peran antara presiden dan wapres tidak terasa. Justru yang mendapatkan banyak peran adalah menteri senior seperti Luhut (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan),” kritiknya, Rabu hari ini.
Hal ini, menurut Ali menunjukkan bahwa bagi Jokowi, Ma'ruf Amin sejak awal hanyalah pelengkap, bukannnya sebagai kolaborator. Dan itu imbasnya kurang bagus.
“Itu berimbas pada menguatnya sosok-sosok lain di luar lembaga kepresidenan, seperti menteri-menteri yang cenderung populis dan kadang bertindak overacting seperti yang sering diperlihatkan menteri-menteri Jokowi,” ujarnya.
“Kurangnya peran yang diberikan kepada wapres juga menunjukkan betapa kekuatan di belakang Jokowi sebenarnya tidak menghendaki Ma'ruf dalam lingkaran kekuasaan,” kata Sekretaris Departemen Ilmu Politik Unhas tersebut.
Dosen Komunikasi Politik, UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad melontarkan kritik yang tak kalah pedas. “Jokowi condong tidak melibatkan wakilnya, baik saat berpasangan JK (HM Jusuf Kalla) maupun sekarang dengan KH. Ma’ruf Amin. Ini persoalan serius dari sudut pandang komunikasi politik dan tata kelola kekuasaan,” tegasnya.
Menurut Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar itu, di era pemerintahan Jokowi, pembagian tugas terlihat tidak jelas.
“Dominasi Jokowi terlihat saat tidak ada pembagian tanggungjawab seperti SBY-JK yang tangani ekonomi dan bencana. JK kelihatan kerjanya dan berkontribusi terhadap citra pemerintahan SBY-JK,” kata Firdaus.
Jokowi bagi Ketua Komisi Dakwah MUI Sulsel itu memonopoli segalanya. Dan itu menurutnya sangat disesalkan. Pasalnya, wapres sebagai ahli ekonomi syariah punya kemampuan dalam penanganan COVID-19. Khususnya dari sisi ekonomi.
“Ma’ruf Amin tenggelam karena monopoli Jokowi. Padahal Kiai Maruf juga memiliki komptensi di bidang syariah. Ia mampu bekerja untuk menangani COVID-19, tapi tidak diberi ruang. Komunikasi politik Jokowi bersoal,” ujarnya.
Arief Wicaksono, Pengamat Politik Universitas Bosowa (Unibos) Makassar menambahkan, akibat minimnya ruang bagi wapres, penanganan COVID-19 berjalan buruk. Makanya, ia menegaskan bahwa tata kelola yang terlihat saat ini sangat tidak jelas.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com