Cetak Uang Rp600 Triliun Kerek Inflasi

fin.co.id - 04/05/2020, 11:33 WIB

Cetak Uang Rp600 Triliun Kerek Inflasi

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Kalangan ekonom menilai rekoendasi DPR RI soal Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang Rp400-600 triliun sebagai bentuk penanganan pandemi virus corona atau Covid-19 berisiko mengerek laju inflasi.

Usulan tersebut muncul karena Badan Anggaran DPR RI menilai penganggaran yang direncanakan pemerintah dianggap kurang mencukupi. Pemerintah sendiri menggelontorkan stimulus sebesar 405,1 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari insentif bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun, dan perpajakan dan stimulus KUR sebesar Rp70,1 triliun. Sementara pemulihan perekonomian nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan pembiayaan UMKM sebesar Rp150 triliun.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna mengatakan, cetak uang baru di tengah wabah corona memang akan terjadi sejumlah risiko, satu di antaranya inflasi. "Dalam merespon hal itu, bank sentral bisa melakukan donor darah (mencetak uang). Namun, langkah tersebut bukan tanpa risiko, di antaranya adalah inflasi," ujarnya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (3/5).

Ariyo menjelaskan, pandemi Covid-19 memang telah menyedot dana yang tak sedikit untuk memulihkan perekonomian nasional. Hal tersebut terjadi di seluruh negara. "Dalam ekonomi, uang bisa diibaratkan sebagai darah dalam tubuh. Kondisi seperti ini, memang kita mengalami kekurangan darah (uang) karena produksi pelaku usaha turun sehingga penerimaan pajak turun," tutur dia.

Namun, kendati terjadi inflasi. Ia meyakini selama bank sentral bisa menghitung cetak uang baru dengan tepat, maka inflasi bisa ditekan. "Ya, hal itu bisa diatasi jika jumlah uang yang dicetak sesuai kebutuhan dan dialokasikan ke aktivitas sosial dan kesehatan yang non-commercial," jelasnya.

Senada, ekonom Bank Permata Josua Pardede. Bahwa, apabila BI jadi mencetak uang sesuai dengan rekomendasi pemerintah maka akan teradi inflasi yang cukup tinggi. “Dampaknya pada risiko inflasi yang tinggi,” katanya.

Lanjut dia, jika terjadi inflasi maka peredaran uang menjadi tinggi di masyarakat, sementara tak diimbangi dengan pasokan produksi yang memadai. Alhasil, menyebabkan harga barang akan melonjak tajam sehingga daya beli masyarakat menjadi menurun.

Dampak corona, kata dia, sektor industri telah mengurangi produksi karena harga barang yang tinggi. Akibatnya, banyak perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan merumahkan pekerjanya.

Imbas lainnya, lanjut dia, membuat perekonomian Indonesia merosot dan investasi di Tanah Air menjadi tidak menarik di kalangan investor. Tidak hanya itu, jika bank sentral mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat, maka stabilitas Rupiah menjadi anjlok.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan pencetakan uang yang dilakukannya untuk menambah uang beredar. "Seperti dulu waktu BLBI kan bank sentral mengedarkan uang. Sebagai gantinya dikasih surat utang pemerintah yang tidak tradeable dengan suku bunga mendekati nol persen. Waktu inflasi naik, bank sentral tidak menggunakan SOP ini," kata Perry.(din/fin)

Admin
Penulis