News . 02/05/2020, 12:04 WIB

Ada yang Janggal di Kartu Prakerja

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Sudah banyak yang menilai kartu prakerja rawan dengan kolusi. Ini setelah megaproyek itu tidak didasari dengan lelang. Wajar jika berbagai pihak meminta Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan pengawasan ketat dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun BPK.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto sepakat dengan adanya pengawasan pada program Kartu Prakerja secara sistematis. ”Ya bukan hanya melibatkan KPK namun juga perlu menggandeng PPATK. Ini harus jeli. Kita sudah minta itu ke PPAK,” terangnya, Jumat (1/5).

Bila perlu, sambung Didik, BPK juga harus melakukan audit khusus terhadap pelaksanaan Kartu Prakerja selain itu Kepolisian, Kejaksaan, Inspektorat, masyarakat harus aktif melakukan pengawasan.

”Ya, sebenarnya KPK bisa melakukan analisis dan membuat kajian Kartu Prakerja untuk meminimalisir potensi kerugian keuangan negara dan disampaikan kepada pemerintah. Kalau ada yang nyata-nyata melakukan penyimpangan, penyalahgunaan kewenangan dan melakukan korupsi baik pejabat maupun pihak swasta termasuk penyedia platform digital, segera lakukan tindakan preventif, tangkap, cegah dan perbaiki," paparnya.

BACA JUGA: Giliran Pelanggan Listrik Bisnis dan Industri Kecil Digratiskan

Dia menjelaskan program tersebut perlu mendapatkan pengawasan yang ketat, karena menggunakan uang negara yang cukup besar, yaitu di tahun 2020 mencapai Rp20 triliun dengan melibatkan 5,6 juta orang calon penerima manfaat Kartu Prakerja.

Di sisi lain ada biaya yang dialokasikan untuk pelatihan hingga sebesar Rp5,6 triliun yang melibatkan lembaga pelatihan dan platform digital. ”Bahkan penyedia platform digital tersebut sebagai mitra kartu prakerja, keberadaannya tidak melalui mekanisme lelang,” katanya.

Sejauh ini, proses eksekusi program tersebut untuk beberapa hal masih dianggap tidak transparan dan akuntable, bahkan ada beberapa anggapan tentang adanya potensi KKN. ”Karena itu saya menilai sangat diperlukan pengawasan yang ketat dan melekat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan, penyimpangan dan korupsi,” imbuhnya.

Terpisah, Pengamat Ekonomi dari Riau DR Viator Butarbutar mengatakan penyelenggaraan pelatihan secara daring atau online melalui program Kartu Prakerja yang diserahkan pemerintah kepada mitra swasta terpilih perlu ditinjau ulang agar program ini menjadi lebih tepat sasaran.

”Kementerian Koordinator Ekonomi, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Tenaga Kerja, perlu memikir ulang teknis pelatihan prakerja itu,” kata Viator.

BACA JUGA: Xi Jinping Kian Menggila, Jurnalis Divonis 15 Tahun

Menurut dia, Ditjen Binalatas Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) lebih pengalaman dalam menyusun modul pelatihan kerja, termasuk penyelenggaraan pelatihan, untuk masuk dunia kerja dibanding mitra swasta yang dipilih dalam program pelatihan prakerja yang diperkirakan menelan biaya Rp5,6 triliun untuk biaya pelatihan daring bagi 5,6 juta peserta Kartu Prakerja pada masa Covid-19.

Ia memperkirakan biaya penyusunan per modul oleh Kemenaker bervariasi, kebanyakan berkisar Rp200 juta-Rp300 juta, sehingga bila dibutuhkan 1.000 modul, paling besar dibutuhkan dana tidak sampai Rp500 miliar.

Modul tersebut kemudian diunggah ke internet dan dapat diakses oleh peserta terdaftar. Peserta, bahkan dapat mengunjungi BLK terdekat apabila ada keperluan praktis mendesak dengan menerapkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

Viator yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Percepatan Pembangunan Daerah Dan Kerja Sama Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau menilai ada pergeseran pemikiran awal program Kartu Prakerja.

”Prakerja adalah mereka yang belum bekerja dan sedang mencari pekerjaan? Kenapa sekarang korban PHK dimasukkan menjadi peserta, yang seharusnya korban PHK diberikan program berbeda yang terkategori Bantuan Langsung Tunai untuk menolong kehidupan sehari hari,” katanya.

Ia juga menyebut mereka di-PHK bukan karena kurang cakap atau kurang ahli, namun karena karena perusahaan terdampak kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”Mereka tidak butuh pelatihan melalui paket Kartu Prakerja namun lebih butuh makanan lewat paket bansos natura atau tunai," jelasnya seraya menyebut pelatihan daring oleh perusahaan swasta dengan plafon biaya Rp1 juta per peserta perlu dipertanyakan dan ditinjau kembali.

BACA JUGA: Pemerintah Harus Hati-hati Cetak Uang Baru Rp 600 Triliun

Sementara itu, dalam peringatan Hari Buruh, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menginginkan agar pemerintah tidak memaksakan penerapan skema Kartu Prakerja dalam masa pandemi Covid-19. ”Pemerintah tidak perlu memaksakan skema Kartu Prakerja ini dijalankan di tengah pandemi. Program itu dipersiapkan untuk situasi normal dan bukan di tengah pandemi," kata Rachmi Hertanti.

Rachmi berpendapat bahwa penerapan skema tersebut tidak perlu dipaksakan, antara lain karena masih banyak buruh korban PHK di berbagai daerah yang tidak bisa mengakses program itu karena kendala teknis. Selain itu, menurut dia, program pemutusan kerja dinilai tidak tepat sasaran karena yang paling tepat pada saat ini adalah menyelamatkan nasib buruh dan keluarganya dalam menghadapi krisis.

Ia juga menegaskan agar negara dapat bersikap tegas terhadap perusahaan yang hanya ingin melakukan aksi ambil untung dari berbagai stimulus ekonomi yang digelontorkan pemerintah, tanpa sedikit pun mengurangi beban pemerintah menghadapi potensi krisis sosial dan ekonomi yang lebih besar di masyarakat.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com