Kartu Pra Kerja Bukan untuk Pandemi

fin.co.id - 01/05/2020, 23:02 WIB

Kartu Pra Kerja Bukan untuk Pandemi

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Kartu Pra Kerja yang sudah diluncurkan oleh pemerintah dirancang bukan untuk masa pandemi COVID-19. Seharusnya alokasi anggaran dari program tersebut dialihkan ke pos lain yang lebih tepat penggunaannya.

"Kartu Pra Kerja itu kan didesain pada situasi normal dengan konsep adanya pelatihan. Karena untuk diterima kerja. Nah, sekarang ini informasi dari BPS, tidak ada pembukaan lapangan kerja baru," kata Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam di Jakarta, Jumat (1/5).

Menurut dia, tidak relevan bila kartu Pra Kerja itu masih diberikan anggaran dengan kondisi asumsi normal. Sehingga sebaiknya dialihkan kepada bantuan langsung. Seperti BLT dan sembako yang bisa langsung dinikmati oleh kalangan masyarakat yang betul-betul membutuhkannya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melakukan kebijakan fiskal yang lebih tegas dan berani. Khususnya dalam kebijakan memotong anggaran negara yang memang masih dipandang tidak fokus kepada penanganan COVID-19 serta dampaknya.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti. Dia menginginkan pemerintah tidak memaksakan penerapan skema Kartu Pra Kerja dalam masa pandemi COVID-19. "Pemerintah tidak perlu memaksakan skema Kartu Pra Kerja ini dijalankan di tengah pandemi. Program itu dipersiapkan untuk situasi normal dan bukan di masa pandemi," kata Rachmi Hertanti di Jakarta, Jumat (1/5).

Rachmi berpendapat penerapan skema tersebut tidak perlu dipaksakan. Antara lain karena masih banyak buruh korban PHK di berbagai daerah yang tidak bisa mengakses program itu karena kendala teknis. "Program pemutusan kerja dinilai tidak tepat sasaran. Karena yang paling tepat pada saat ini adalah menyelamatkan nasib buruh dan keluarganya dalam menghadapi krisis," imbuhnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta para pekerja yang dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pandemi COVID-19 dijadikan prioritas memperoleh Kartu Pra Kerja. "Bagi pekerja yang dirumahkan atau PHK saya minta diberikan prioritas untuk mendapatkan Kartu Pra Kerja," tegas Jokowi. Informasi yang dia terima, pendaftar untuk Kartu Pra Kerja sudah mencapai 8,4 juta. Padahal jatahnya hanya untuk 5,6 juta. Sehingga, Jokowi meminta agar korban PHK diberikan prioritas.

Terpisah, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto menilai perlu pengawasan yang ketat dalam program Kartu Prakerja, bukan hanya melibatkan KPK. Namun perlu menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). "PPATK diperlukan untuk memantau setiap transaksi keuangan. Khususnya pihak-pihak atau perusahaan dan pengusaha yang terlibat dan atau terafiliasi dalam pelaksanaan Kartu Prakerja ini," kata Didik di Jakarta, Jumat (1/5).

Menurutnya, kalau perlu BPK juga harus melakukan audit khusus terhadap pelaksanaan Kartu Prakerja selain itu Kepolisian, Kejaksaan, Inspektorat, masyarakat harus aktif melakukan pengawasan. Didik menilai sebenarnya KPK bisa melakukan analisis dan membuat kajian terkait pelaksanaan Kartu Prakerja untuk menutup celah korupsi. Ini sebagai upaya mencegah korupsi, serta meminimalisir potensi kerugian keuangan negara.

"Dengan pengawasan dini itu, saya berharap apabila ada yang nyata-nyata melakukan penyimpangan, penyalahgunaan kewenangan dan melakukan korupsi baik pejabat maupun pihak swasta termasuk penyedia platform digital, segera lakukan tindakan preventif, tangkap, cegah dan perbaiki," tegasnya.

Dia menjelaskan program tersebut perlu mendapatkan pengawasan yang ketat. Karena menggunakan uang negara yang cukup besar. Yakni Rp20 triliun dengan melibatkan 5,6 juta orang calon penerima manfaat Kartu Prakerja. Dari anggaran tersebut, ada biaya yang dialokasikan untuk pelatihan hingga sebesar Rp5,6 triliun yang melibatkan lembaga pelatihan dan platform digital. "Bahkan penyedia platform digital tersebut sebagai mitra kartu prakerja, keberadaannya tidak melalui mekanisme lelang," paparnya.

Dia mengatakan, proses eksekusi program tersebut untuk beberapa hal masih dianggap tidak transparan dan akuntable. Bahkan ada beberapa anggapan tentang adanya potensi KKN, dagang pengaruh atau trading influence. Karena itu Didik menilai sangat diperlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan, penyimpangan dan korupsi.(rh/fin)

Admin
Penulis