JAKARTA - Kegiatan ibadah, termasuk salat berjamaah tidak boleh dilakukan selama pandemi COVID-19. Khususnya di daerah-daerah yang dinyatakan sebagai zona merah.
"Ibadah yang dilakukan seharusnya dilakukan di rumah. Yakni tarawih di rumah, tadarus di rumah. Terutama di daerah yang merah, tidak boleh dilakukan di masjid secara berjamaah," tegas Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Jakarta, Selasa (28/4).
Ma'ruf memahami dengan beribadah secara berjamaah akan mendapatkan banyak pahala. Namun, di masa pandemi COVID-19 saat ini, kegiatan tersebut akan menimbulkan mudarat apabila tetap dilakukan.
"Saat ini kita berada dalam situasi memprihatinkan. Memang berjamaah itu pahalanya banyak. Akan tetapi di sana ada bahaya. Ada barak yang nanti akan menimbulkan kerusakan atau mudarat," imbuh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif ini.
Ma'ruf mengatakan imbauan untuk tidak beribadah secara berjamaah saat pandemi termasuk anjuran dari Rasulullah. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh menyakiti diri sendiri dan tidak boleh menyakiti orang lain.
Dengan beribadah secara berjamaah saat pandemi, hal itu sama dengan menyebarkan bahaya bagi masyarakat dan umat Islam lainnya. "Tadarus, iktikaf di masjid itu sangat berpotensi untuk terjadinya penularan COVID-19. Bisa kita yang ditulari dan bisa kita yang menularkan," ucapnya. Ma'ruf berharap masyarakat dapat mengerti dengan kondisi pandemi saat ini dan menjalankan imbauan untuk beribadah di rumah masing-masing. Khususnya selama Ramadhan.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua MPR RI sekaligus anggota DPR RI Komisi VIII Hidayat Nur Wahid. Dia meminta Kementerian Agama (Kemenag) mensosialisasikan ajakan Salat Tarawih di rumah secara masif.
"Saya minta Kemenag beserta jajaran melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk mensosialisasikan fatwa Salat Tarawih di rumah. Terutama di zona merah, yang memberlakukan PSBB," kata Hidayat di Jakarta, Selasa (28/4).
Langkah itu, agar ibadah yang dilaksanakan menghadirkan maslahat yang lebih luas. Yaitu untuk keselamatan umat, dan memutus penyebaran wabah COVID-19. Hidayat menyesalkan silang pendapat terkait salat Tarawih di kalangan umat pada saat diberlakukannya bencana nasional COVID-19 terlebih di zona merah dan kawasan PSBB.
Dia berharap semestinya wabah COVID-19 menjadikan umat meningkatkan ukhuwah, saling tolong-menolong, toleran, tak mudah diprovokasi karena masalah khilafiah seperti Salat Tarawih. "Saya juga prihatin atas terjadinya insiden penggerudukan rumah seorang warga di Jakarta Timur, akibat melaporkan adanya aktivitas Shalat Tarawih di masjid," paparnya.
Menurut politisi PKS itu, peristiwa tersebut tidak harus terjadi apabila Pemerintah khususnya Kementerian Agama mampu memberikan pemahaman yang baik kepada umat. Termasuk yang berada di sekitar masjid.
Apalagi, berbagai pihak sudah memberikan fatwa yang jelas terkait Salat Tarawih di rumah selama berlakunya PSBB. Sejumlah pihak yang melarang Tarawih di masjid dan mushalla itu adalah MUI, PBNU, Muhammadiyah, juga oleh ulama al Azhar di Mesir dan Dewan Ulama Senior di Saudi Arabia. "Karena itu saya meminta Kemenag, terutama jajarannya di daerah, melakukan sosialisasi Salat Tarawih di rumah secara persuasif," tukasnya.
Hidayat mencontohkan Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dengan anggaran Rp4,6 triliun seharusnya mampu menggandeng pimpinan ormas, ulama, kiai dan ustaz lokal untuk menyampaikan kepada masyarakat fatwa seputar ibadah di bulan Ramadhan dalam situasi darurat pandemi COVID-19.
Langkah itu, lanjutnya, penting. Karena wabah Corona baru terjadi tahun ini. Sehingga tatacara ibadahnya pun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan begitu masyarakat tetap bisa beribadah dengan tenang dan aman.
Dia mengimbau bagi semua warga dan jamaah masjid untuk tetap menguatkan silaturahim dan musyawarah. Sehingga kalau ada masalah seperti Salat Tarawih selama masa darurat COVID-19 bisa diselesaikan dengan semangat persaudaraan. Sehingga terhindar dari konflik dan kerusuhan.(rh/fin)