Verifikasi Faktual Pakai Video Call

fin.co.id - 25/04/2020, 09:51 WIB

Verifikasi Faktual Pakai Video Call

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang, masih menuai pro dan kontra. Meski begitu, verifikasi faktual tetap akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Untuk mengurangi aktivitas tatap muka, verifikasi akan dilaksanakan menggunakan video call.

"Menggunakan video call akan lebih efektif mencegah penyebaran wabah ketika tahapan pemilihan kepala daerah dilaksanakan di masa pandemi COVID-19. Ini patut dipertimbangkan untuk mengubah metode verifikasi faktual dari sensus ke metode sampling. Substansinya sama hanya berbeda metodologi saja. Dengan metode sampling bersentuhan akan berkurang. Terkait cara kerja kami sampaikan pada beberapa diskusi dimungkinkan dilakukan video call," kata Komisioner KPU Viryan Azis di Jakarta, Jumat (24/4).

Menurut dia, verifikasi faktual dengan metode pemilu sebelumnya dan pilkada saat ini jika belum diubah tentunya akan tinggi sekali potensi tatap muka penyelenggara dengan pemilih. Hal ini sangat rentan risiko penularan COVID-19.

Pertimbangan tersebut, lanjutnya, diperlukan mengingat tingkat kerentanan penularan COVID-19. Terlebih, ada orang positif terkena virus, tetapi tidak menunjukkan adanya gejala. "Kami mengutamakan prinsip kehati-hatian dan protokol kesehatan," imbuhnya.

Viryan mengatakan soal waktu yang tepat untuk menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 adalah setelah fase puncak pandemi COVID-19. Menurut dia, sangat berisiko menyelenggarakan hari pemilihan pilkada jika belum melewati fase puncak pandemi. Sebab, hal terpenting saat ini adalah keselamatan jiwa.

Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang menjelaskan, KPU dapat memangkas tahapan pilkada yang dipandang beresiko. Seperti rapat umum, debat kandidat dan lain-lain.

Terkait penetapan pilkada serentak pada 9 Desember 2020, dan antisipasi jika wabah COVID-19 belum juga mereda, Atang menyerahkan kepada Pemerintah memutuskan opsi pertama dari tiga opsi yang disepakati dengan DPR. Yakni penundaan pilkada serentak tiga bulan menjadi bulan Desember 2020.

Penetapan pilkada pada 9 desember 2020 dengan asumsi jika wabah COVID-19 akan berakhir antara bulan Juli hingga Agustus 2020. "Dengan demikian, semua tahapan pilkada mulai pendaftaran, penetapan, rapat umum dan debat kandidat akan dijadwal ulang. Paling tidak dimulai pada September 2020," ujar Atang.

Menurutnya, semua tahapan pilkada dapat dilaksanakan apabila situasinya normal. Namun jika situasi COVID-19 belum berakhir dan jadwal tidak berubah, maka prosesnya hanya ada empat tahap. Yaitu pendaftaran, penetapan calon, pemilihan dan penetapan hasil.

Model ini hanya akan mengakomodasi proses administratif dan hak politik rakyat. Yakni hak untuk memilih. Pemilihan oleh rakyat yang merupakan hak politik merupakan salah satu instrumen demokrasi. Dia mengatakan, dengan memberi ruang bagi rakyat untuk memilih, maka secara demokrasi telah legal dan dan memiliki legitimasi. "Karena itu, yang perlu diatur oleh KPU adalah metode memilih jika pemilihan berlangsung dalam suasana COVID-19," paparnya.

Terpisah, Senior Program Manager International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Adhy Aman menegaskan pilkada ketika pandemi COVID-19 bukan hal yang mustahil. Namun sangat rumit dan sulit.

Menurutnya, hal itu tidak mustahil. Berkaca dari Korea Selatan yang tetap bisa dan berhasil menyelenggarakan pemilu walaupun dalam kondisi pandemi. Penyelenggaraan menjadi berat karena penyelenggara dan unsur terkait lainnya dalam pemilu harus berusaha keras melaksanakan teknis kepemiluan yang mampu menjamin keamanan masyarakat. Khususnya rasa aman dari COVID-19. "Tentu lebih sulit, dan biayanya lebih mahal. Karena harus ada anggaran tambahan. Seperti penyediaan alat kesehatan dan kebutuhan teknis mengikuti prosedur keamanan COVID-19," kata Adhy.

Selain itu, ada beberapa syarat lain agar pilkada dapat berlangsung meski pandemi COVID-19 belum berakhir. Dibutuhkan kerangka pemilu yang kuat. Seperti sarana dan prasarana yang memadai dan penyelenggara punya cukup waktu menyelesaikan setiap tahapan. "Seperti di Korea para peserta pemilu memaklumi dan bekerjasama dengan KPU untuk menciptakan iklim kondusif. Segala aturan KPU yang menyulitkan mereka bisa diterima. Karena itulah konsekuensi pemilu di tengah pandemi," paparnya.

Namun, kemampuan dan kondisi setiap negara berbeda-beda. Dia menyarankan, Indonesia tidak dianjurkan mencontoh pengalaman negara lain. Sebab, belum tentu di Korea berhasil, di Indonesia juga sukses.(rh/fin)

Admin
Penulis