News

Soal Utang, Pemerintah Terburu-buru

fin.co.id - 15/04/2020, 02:55 WIB

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Pemerintah tidak harus terburu-buru menerbitkan surat utang global atau global bond dengan tenor yang sangat panjang. Sejumlah pihak prihatin jika generasi muda penerus Indonesia harus menanggung utang negara bertenor 10, 30, sampai 50 tahun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia berhasil menerbitkan surat utang dengan denominasi USD saat adanya pandemi COVID -19 yang nilainya mencapai USD 4,3 miliar atau Rp 68,6 triliun (kurs Rp16 ribu).

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menilai ini adalah penerbitan terbesar US bond dalam sejarah RI. Indonesia juga jadi negara pertama yang menerbitkan sovereign bond sejak pandemi COVID -19 terjadi. “Ini menunjukkan kepercayaan investor dari pengelolaan keuangan negara. Kita memanfaatkan 50 tahun dari preferensi tenor bond jangka panjang cukup kuat," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dalam keterangan persnya, Selasa (14/4).

BACA JUGA: Sebulan Terakhir, Taiwan Nihil Kasus Baru Corona

Anis mengatakan, dari data yang ada, cadangan devisa Indonesia saat ini masih cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menstabilisasi nilai tukar rupiah. “Cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2020 tercatat sebesar USD 121 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor. Artinya posisi cadangan devisa ini masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” bebernya.

Anis menyarankan untuk menggunakan dana yang ada daripada menerbitkan global bond. Menurut Doktor lulusan Universitas Airlangga ini, Pemerintah per akhir Februari 2020 masih memiliki uang kas lebih dari Rp270 triliun.

Nilai tersebut terdiri dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2018 sebesar Rp 175,24 triliun, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) 2019 sebesar Rp46,5 triliun, dan SiLPA 2020 (akhir Februari, Red) sebesar Rp50,13 triliun. “Atau, Pemerintah bisa memangkas anggaran proyek-proyek mercusuar yang bisa ditunda,” tutur Anis.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mendapat apresiasi karena mampu menstabilkan rupiah di tengah wabah COVID-19. Pada penutupan Senin (13/4), rupiah berada di level Rp15.630 per USD. Di samping itu, perbankan nasional juga tak terpancing melakukan sesuatu yang melemahkan rupiah.

BACA JUGA: Ketua MPR Donasikan Tiga Bulan Gajinya untuk Lawan COVID-19

Apresiasi ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir. "BI berhasil melakukan Repo Line Credit kepada The Fed Bank sebesar USD 60 billion. Ini nilainya separuh cadangan devisa Indonesia. Sehingga pasar cukup confidence terhadap ketersedian moneter di dalam negeri,” terangnya.

Wakil Ketua F-PAN DPR RI itu, menambahkan, BI dengan cepat pula menutup pelemahan cadangan devisa melalui penerbitan surat utang global pemerintah, yang sempat anjlok dari USD 130 billion menjadi USD 121 billion. “Kini stabil kembali di kisaran USD 126 bilion dan akan bertambah lagi dalam waktu dekat untuk memberikan kepercayaan kepada pasar," terangnya.

Perbankan nasional mampu menahan diri dan tak terpancing melakukan perdagangan yang memungkinkan terjadinya pelemahan terhadap rupiah. Ini penting agar ekonomi negara tidak goyah karena ada pelemahan perekonomian global dan nasional menyusul virus Corona yang mewabah di seluruh dunia. (khf/fin/rh)

Admin
Penulis