JAKARTA - Tim gabungan penanganan pandemi COVID-19, Gugus Tugas COVID-19, Kementerian Kesehatan, Polri dan TNI dapat melakukan pengujian sampel secara masif disertai pelacakan yang agresif. Hal ini diperlukan untuk secepatnya mengetahui subyek yang terinfeksi Corona. Dengan begitu, tindakan awal dapat segera dilakukan.
"Untuk membendung COVID-19, saya ingin menyampaikan pengujian sampel masih harus ditingkatkan. Kemudian, tingkatkan pengujian sampel yang masif. Ini harus dilakukan dengan pelacakan yang agresif serta diikuti isolasi ketat," tegas Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (14/4).
Kepala Negara meminta Ketua Gugus Tugas, Menteri Kesehatan, Polri dibantu TNI benar-benar memperhatikan instruksi tersebut. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), per 12 April 2020, Kemenkes telah memeriksa 27.075 spesimen. "Dukungan sarana prasarana medis yang memadai termasuk penggunaan teknologi, baik yang menyangkut sensor tubuh, menyangkut big data, menyangkut IOT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence) semua harus kita gunakan," papar Jokowi.
Internet of Things adalah suatu konsep dimana objek tertentu punya kemampuan untuk mentransfer data lewat jaringan tanpa memerlukan adanya interaksi dari manusia ke manusia ataupun dari manusia ke perangkat komputer. Sedangkan Artificial Intelligence adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah.
"Saya sangat menghargai ada yang menggunakan dan bekerja sama dengan perusahaan teknologi, untuk telemedicine. Sehingga orang tidak perlu bertemu dengan dokter. Tidak perlu ke RS. Tetapi bisa konsultasi kesehatan lewat telemedicine," ucapnya.
Penggunakan telemedicine saat ini sudah mencapai 15 juta pengguna. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona (COVID-19) sekaligus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan penggunaan telemedicine sudah efektif untuk 3000 orang pasien. Sebanyak 30 pasien terbukti positif dan 2 orang dirujuk ke rumah sakit.
Berdasarkan data dari situs Worldometers, hingga Selasa (14/4) pagi terkonfirmasi di dunia ada 1.925.190 orang yang terinfeksi virus Corona dengan 119.701 kematian. Sebanyak 447.833 orang yang dinyatakan sembuh. Kasus di Amerika Serikat mencapai 587.155 kasus. Di Spanyol 170.099 kasus, di Italia 159.516 kasus, di Prancis 136.779, di Jerman sebanyak 136.779. Di Inggris 88.621, di China 82.249 kasus dan di Iran 73.303.
Jumlah kematian tertinggi terjadi di Amerika Serikat. Yakni 23.644 orang. Kemudian disusul Italia 20.456 orang, Spanyol sebanyak 17.756 orang, Prancis sebanyak 14.967 orang, Inggris sejumlah 11.329 orang. Selanjutnya Iran sebanyak 4.585 orang. Saat ini sudah ada lebih dari 207 negara yang mengonfirmasi kasus positif COVID-19.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menilai Keputusan Pemerintah nomor 12 Tahun 2020 yang menetapkan pandemi COVID-19 sebagai Bencana Nasional Non-alam, menegaskan kendali operasi penanganan sepenuhnya ada di tangan pemerintah pusat.
"Pemerintah daerah harus menjadi sistem pendukung dalam menuntaskan penanganan COVID-19. Dengan adanya keppres 12/2020 ini, pemerintah daerah harus patuh. Tidak hanya pada saat pengajuan status PSBB. Tetapi ketika diminta menggunakan seluruh sumber daya yang ada di daerah," kata Saleh di Jakarta, Selasa (14/4).
Dia menilai dengan penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam, gugus tugas dan seluruh kekuatan pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih cepat, taktis, dan dinamis. Menurut dia, semua masyarakat berharap dengan ditetapkannya sebagai bencana nasional, penanganan pandemi COVID-19 menjadi lebih baik.
"Karena itu seharusnya tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab. Ssehingga koordinasi dan komunikasi harus sudah semakin baik. Masing-masing aparatur pemerintah dapat bergerak bersama," ucapnya.
Berdasarkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, membagi bencana dalam tiga jenis. Yaitu Bencana nasional jika ditetapkan Presiden, Bencana provinsi jika ditetapkan gubernur, dan bencana daerah jika ditetapkan oleh bupati/walikota.
Dia mengatakan, penetapan status bencana nasional memiliki konsekuensi. Jika statusnya lokal, biaya dan sumber daya yang dipergunakan untuk menanganinya adalah apa yang ada di daerah. "Tetapi kalau sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, semua sumber daya yang dimiliki negara bisa dipergunakan untuk mengatasi. Termasuk anggaran yang digunakan," paparnya.
Karena itu, lanjutnya, tidak lagi hanya yang dianggarkan secara reguler. Tetapi bisa memakai anggaran Dana Siap Pakai (DSP) dan bisa juga memakai Belanja Tidak Terduga (BTT) yang ada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Memang tidak mudah untuk menetapkan suatu bencana sebagai bencana nasional. Keputusan terkait itu mutlak di tangan pemerintah pusat," bebernya.(rh/fin)