JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) mengatakan, bahwa selama wabah virus corona (Covid-19) menjangkit ke hampir seluruh negara di dunia, angka kejahatan pada sektor farmasi meningkat.
Baru-baru ini, unit Interpol untuk melawan kejahatan farmasi global telah melakukan 121 penangkapan di 90 negara selama tujuh hari, yang disertai penyitaan terhadap obat-obatan palsu dan berbahaya senilai USD14 juta.
Sekjen Interpol Jurgen Stock mengatakan, pada saat ini di seluruh dunia orang menumpuk persediaan obat-obatan yang mereka anggap penting. Namun, dengan pembatasan wilayah di dua negara produsen obat terbesar di dunia, Cina dan India, permintaan kini melebihi pasokan. Maka meroketlah sirkulasi obat-obatan palsu.
Dari Malaysia hingga Mozambik, petugas kepolisian menyita puluhan ribu masker dan obat-obatan palsu, beberapa di antaranya diklaim mampu menyembuhkan Covid-19.
"Perdagangan ilegal alat medis selama krisis seperti ini benar-benar memperlihatkan tiadanya penghargaan terhadap hidup orang, kata Stock, Senin (13/4).
WHO juga menyatakan, bahwa perdagangan obat palsu termasuk di dalamnya obat tercemar, obat tanpa bahan aktif, atau obat kadaluwarsa nilainya bisa mencapai US$30 miliar di negara-negara miskin dan negara berpendapatan menengah.
"Hasil terbaik dari obat ini adalah, mereka tidak menyembuhkan apa-apa. Bahkan, hasil terburuk dari obat ini bisa merugikan karena bisa jadi obat-obatan itu beracun," kata Pernette Bourdillion Esteve, anggota tim WHO yang mengurusi obat-obatan palsu.
Menurut Esteve, nilai dari industri farmasi global adalah triliunan dolar AS. Rantai pasok terbentang lebar dari pabrikan di China dan India, pengemasan di Eropa, Amerika Selatan atau Asia, hingga distributor pengirim obat ke seluruh dunia.
"Mungkin tak ada yang lebih terglobalisasi dibandingkan obat-obatan. Dan ketika banyak negara mengalami penutupan wilayah, rantai pasok global mulai berantakan," ujarnya.
Sementara itu, beberapa perusahaan farmasi di India berkata kepada BBC, mereka kini menjalankan 50-60% kapasitas produksi. India memasok 20% dari obat-obatan dasar di benua Afrika, dan dengan ini maka banyak negara di Afrika akan terpengaruh.
Ephraim Phiri, seorang apoteker di Lusaka, Zambia menyatakan ia sudah merasakan dampak itu. "Kami sudah kehabisan obat-obatan, dan tidak bisa memasok gantinya. Kami tak bisa apa-apa. Susah sekali dapat pasokan, terutama obat seperti anti biotik dan obat anti malaria," katanya.
Produser dan pemasok, kata Phiri juga kepayahan karena bahan mentah untuk membuat tablet menjadi semakin mahal. Beberapa pabrik harus tutup sama sekali.
"Satu produser di Pakistan kami biasa membeli bahan mentah untuk obat anti malaria, hydrochloroquine, sekitar USD100 per kilogram. Kini harganya USD1.150 per kilogram," ungkapnya .
Dengan semakin banyaknya negara melakukan pembatasan wilayah, tidak hanya pengurangan produksi yang bermasalah. Peningkatan permintaan juga jadi persoalan karena orang semakin cemas menumpuk obat-obatan dasar.
Berkurangnya pasokan dan peningkatan permintaan jadi kombinasi buruk, membuat WHO mengingatkan bahayanya produksi dan penjualan obat-obatan palsu.