JAKARTA - Peran Gugus Tugas penanganan COVID-19 dinilai belum optimal. TNI harus terlibat secara penuh dalam proses pencegahan dan penanganan. Terutama untuk mendukung pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebab, hingga saat ini hal itu belum kunjung terlaksana.
"TNI harus dilibatkan secara total. Ini bisa dilihat dari berbagai laporan mengenai distribusi APD, arus mudik di berbagai daerah. "Di Jakarta misalnya. Angkutan publik masih padat. Tidak terjadi physical distancing. Jalan-jalan juga masih ramai. Padahal seruan work from home belum dicabut. Ini bukan PSBB namanya kalau begini. Orang berkerumun di mana-mana. Di jalanan, di stasiun, di pasar. Ini kontradiktif kalau seperti ini situasinya. Butuh ketegasan. Karena itu, TNI harus diturunkan," kata Anggota Komisi I DPR, Willy Aditya usai mengikuti Rapat Koordinasi dengan Kementerian Pertahanan di Jakarta, Senin (6/4).
Di daerah, lanjutnya, arus mudik masih terus berlangsung. Di Garut, Jawa Barat, lebih dari 2.500 orang tiba dari Jakarta hingga 3 April 2020 lalu. Begitu juga di Ciamis. Tercatat ada 18 ribu pemudik per tanggal 5 April 2020. "Jika konsisten, otomatis mereka semua berstatus ODP," imbuhnya.
Semua ini, kata Willy, menunjukkan belum padunya pemegang otoritas dalam upaya penanganan wabah COVID-19. "Sudah seminggu PSBB keluar. Tetapi, penerapannya sama sekali belum ada. Harusnya jalanan dan perkantoran semakin sepi. Ini malah ramai," paparnya.
Di sisi lain, Willy melihat, peran yang dimainkan TNI dalam upaya penanganan juga belum optimal. Padahal TNI adalah entitas yang memiliki kelengkapan infrastruktur dan sistem komando yang jelas untuk membantu mengatasi wabah virus Corona.
Politisi Partai NasDem ini meminta kepada pemerintah agar pelibatan TNI tidak setengah-setengah di gugus tugas penanganan COVID-19 ini. Apalagi TNI juga punya OMSP atau operasi militer selain perang. Dalam konteks penanganan COVID-19, TNI bisa dioptimalkan di berbagai sektor.
Willy menyatakan, dalam pasal 7 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004, wujud dari OMSP antara lain membantu tugas pemerintah daerah, membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain itu juga ikut membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS M Nasir Djamil meminta polisi dalam penegakan hukum tetap mengedepan langkah persuasif dan bijak dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19. "Tidak bisa kita pungkiri bahwa ada kabar bohong soal COVID-19 yang merugikan masyarakat. Itu harus ditindak. Sedangkan warga negara yang kritis mengkritik kebijakan negara dalam mengatasi pandemi ini, harus dlindungi. Polri harus bersama rakyat," tegas Nasir Djamil dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Hal ini terkait Surat Telegram Kapolri mengenai pedoman pelaksanaan tugas fungsi reskrim terkait dengan kejahatan yang terjadi di ruang siber dan penegakan hukum tindak pidana siber selama masa wabah COVID-19. Nasir meminta Polri tetap menjunjung tinggi fungsi pelayanan, pengayom, dan pelindung rakyat. Yakni dengan mengedepankan aspek profesionalitas, modern, dan terpercaya.
Menurutnya, terkait dengan soal aturan penghinaan presiden dalam Surat Telegram Kapolri itu, tentu harus hati-hati dalam penerapannya. Karena selain mengandung multitafsir. Selain itu, ketentuan tersebut juga sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). "Indonesia ini negara hukum yang demokratis. Karena itu pro dan kontra terhadap kebijakan negara dalam mengatasi wabah COVID-19 adalah hal lumrah," katanya. Nasir menilai yang penting Polri harus tetap dalam posisi sebagai alat negara yang independen dalam penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Terpisah, Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo meminta masyarakat mematuhi aturan-aturan dalam PSBB yang telah ditetapkan Pemerintah. "Kami harapkan pembatasan tersebut dapat dipatuhi untuk kepentingan masyarakat banyak," kata Sigit di Jakarta, Senin (6/4). Menurut dia, Bareskrim Polri mendukung penuh kebijakan Pemerintah Pusat terkait opsi PSBB ini.
Sebelumnya, pada Selasa (31/3), Presiden Joko Widodo telah meneken dua aturan yakni Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease (COVID-19) dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). Dalam Peraturan Pemerintah yang terdiri dari tujuh pasal ini dijelaskan bahwa ?Pemda boleh menerapkan PSBB setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan.
Pembatasan sosial yang dimaksud yakni membatasi pergerakan orang dan barang di wilayah provinsi, kabupaten dan kota. PSBB bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat.
Anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI Dewi Aryani menyatakan perlu persyaratan penetapan PSBB lebih gamblang lagi. Terutama terkait data peningkatan jumlah kasus COVID-19 menurut waktu di suatu daerah.
"Seberapa besar kenaikan jumlah kasus COVID-19 menurut waktu yang menjadi acuan suatu daerah melaksanakan PSBB? Hal ini perlu lebih perinci guna menghindari unsur subjektivitas dalam penetapan PSBB," kata Dewi.